Ia justru mengajak mereka untuk “turun gunung” dan melanjutkan perjalanan ke Yerusalem, tempat di mana Ia akan mengalami penderitaan, kematian, dan Kebangkitan.
Dengan mengasihi dan mendoakan musuh, para pengikut Kristus menunjukan identitasnya sebagai anak-anak Bapa di surga. Setiap Pengikut Kristus dipanggil untuk menyerupai Kasih Allah yang sejati tidak membedakan antara baik dan jahat, tetapi menawarkan cinta tanpa syarat.
Menghidupi persaudaraan bukan hanya dengan mentaati larangan “jangan membunuh”, tetapi juga jangan memarahi, bertindak kasar dan memfitnah sesama.
Iman dan pengharapan kita kepada Tuhan hendaknya berlandaskan pada keyakinan bahwa Allah adalah Bapa Yang Mahabaik, yang selalu mengasihi dan berbuat baik kepada kita.
Berbeda dengan sikap orang Niniwe dan ratu Selatan yang bertobat dan percaya setelah mendengar seruan pertobatan Yunus dan kebijaksanaan Salomo. Sesungguhnya, Yesus jauh lebih besar dari Yunus dan Salomo, namun orang Yahudi tetap tidak mau bertobat dan tidak percaya kepada-Nya.
Dalam masyarakat kita yang terlalu diperbudak oleh logika pasar, di mana segala sesuatu beresiko tunduk pada kriteria kepentingan dan pencarian keuntungan, kerelawanan adalah nubuat dan tanda harapan, karena menjadi saksi keutamaan kerelawanan, solidaritas dan pelayanan kepada mereka yang paling membutuhkan.
Ketika kita melakukan perjalanan melalui padang gurun bersama-Nya, kita mengikuti jalan yang belum pernah kita lalui: Yesus sendiri membuka jalan pembebasan dan penebusan yang baru bagi kita. Dengan mengikuti Tuhan dalam iman, dari para pengembara, kita menjadi peziarah.
Doa bukanlah permintaan. Doa merupakan kerinduan jiwa. Adalah lebih baik jika dalam doa kita memiliki hati tanpa kata-kata daripada kata-kata tanpa hati.