Selain jumlah rumah, ada unsur-unsur penting lain juga yang dibutuhkan, yang harus diperhatikan sebelum membentuk provinsi, yaitu jumlah anggota yang cukup, kelayakan dan kemandirian ekonomi, karya kerasulan yang memadai dan jauh lebih penting juga adalah kematangan manusiawi misioner para anggota.
Dalam
beberapa kesempatan, ada beberapa teman yang sempat bertanya soal bagaimana
prosedur atau syarat-syarat sebuah delegasi, distrik, regio atau terminus
lainnya yang sejajar, bisa menjadi sebuah provinsi. Persoalan yang mereka
ajukan itu, saya rangkum dalam tiga pertanyaan dan jawaban yang sederhana. Tapi sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan
itu, alangkah lebih baik kita memahami dengan baik apa itu provinsi?
Kitab
Hukum Kanonik 1983, memberi definisi bahwa sebuah provinsi adalah “Gabungan
rumah-rumah dibawah Pemimpin yang sama, yang membentuk bagian langsung dari
tarekat itu dan didirikan secara kanonik oleh otoritas yang legitim”(bdk. kan. 621).
Term “Provinsi” adalah term yang digunakan dalam hukum universal kita tapi kita
bisa menemukan pada hukum partikular dari masing-masing Institut Hidup Bakti
penggunaan term yang lain, seperti: regio, distrik, custode, dan macam lainnya.
Formasi
pertama dalam pembagian/pembentukan institut terjadi pada tahun 1217 oleh para
Fransiskan. Institut dibagi dalam 12 provinsi. Lalu pada tahun 1221, para
Dominikan membentuk 8 provinsi dalam tubuh institut. Ada pula organisme tinggi
lain yang disamakan dengan provinsi karena memenuhi syarat-syarat yuridis yang
ditentukan (misalkan, dalam Kongregasi kami (Claretian) sebuah delegasi
independen juga dianggap organisme tinggi seperti provinsi).
Sekarang
kita membahas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Pertanyaan pertama: Bagaimana
mendirikan atau membentuk sebuah provinsi?
Berdiri
atau terbentuknya sebuah Provinsi dalam institut hidup bakti (bisa baca:
tarekat/kongregasi) biasanya perlu memenuhi beberapa keadaan berikut: a)
sebagai konsekuensi alami dari pembagian dalam institut menjadi provinsi; b)
sebagai hasil dari pembagian provinsi yang ada; atau c) sebagai hasil dari
perkembangan organisme yang kini telah mencapai kematangan yang diperlukan
untuk menjadi provinsi. Lalu dengan adanya proses difusi yang luas dari sebuah
institut dengan hak kepausan, biasanya berakibat pada sulitnya struktur monolitik
dalam institut untuk mengelolah dan mengatur seluruh organisme dalam institut.
Oleh karena itu pembagian institut menjadi provinsi dianggap sebagai alasan
utama untuk pendirian ataupun pembentukan provinsi baru dalam tubuh institut
hidup bakti.
Lalu
pertanyaan yang kedua: Apa kelebihan dengan pembagian institut menjadi
provinsi-provinsi atau dengan pembentukan provinsi baru?
Mengenai
kelebihannya, pembagian dalam institut menjadi provinsi-provinsi atau
pembentukan provinsi yang baru secara sederhana memudahkan dalam tata kelola
keluarga religius yang ada karena meringankan beban otoritas tertinggi untuk
mengatur seluruh tarekat yang sekarang tersebar di tempat-tempat yang jauh
berbeda. Lalu disisi lain juga sangat membantu untuk memenuhi kebutuhan
material dan spiritual para anggota yang mungkin sekarang telah tumbuh dalam
jumlah besar. Selain itu, dengan pembagian ini akan menghasilkan ekspansi dan
pertumbuhan lebih lanjut dari tarekat, yang tidak hanya menguntungkan
kongregasi, tetapi juga Gereja pada umumnya.
Dan
pertanyaan terakhir: Berapa jumlah minimum rumah untuk pendirian sebuah
provinsi?
Baik
kodeks lama kita (KHK 1917) maupun kodeks baru (KHK 1983) tidak disebutkan
berapa jumlah rumah untuk membentuk sebuah provinsi. Tetapi kan. 115 § 2 bisa
menjadi acuan kita: “ Kelompok orang yang hanya dapat dibentuk sebagai badan
hukum sekurang-kurangnya dari tiga orang, adalah kolegial, kalau kegiatannya ditentukan oleh anggota-anggota
yang bersama-sama mengambil keputusan,
baik dengan hak yang sama maupun tidak, menurut norma hukum dan statuta; kalau
tidak, disebut non-kolegial.”
Intinya untuk membentuk sebuah badan hukum sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang dan dalam kasus pendirian atau pembentukan provinsi harus ada minimal tiga rumah masing-masing dengan setidaknya dengan tiga anggota yang sudah berprofesi pada masing-masing rumah. Tetapi ini hanya persyaratan minimum; besarnya jumlah rumah yang dibutuhkan dan yang tersedia sebaiknya pula diatur dalam hukum khusus masing-masing institut hidup bakti (Konstitusi atau Direktori).
Selain jumlah rumah, ada unsur-unsur penting lain juga yang dibutuhkan, yang harus diperhatikan sebelum membentuk provinsi, yaitu jumlah anggota yang cukup, kelayakan dan kemandirian ekonomi, karya kerasulan yang memadai dan jauh lebih penting juga adalah kematangan manusiawi misioner para anggota.
P. Doddy Sasi, CMF