Hakim tidak berusaha mencari dalil-dalil pembenaran, argument subjektif dari para pihak serta bukti-bukti objektif untuk membatalkan perkawinan yang diadili. Tugas hakim adalah menyatakan kebatalan (nullitatem declarandam) sebuah perkawinan, bukan membatalkan sebuah perkawinan.
Dalam ulasan sederhana ini, saya akan membahas tentang peran seorang Pastor paroki dalam sebuah proses anulasi perkawinan. Tapi pertama-tama kita lihat bersama dulu hakikat dari paroki dan pastor paroki.
Paroki
Kata
PAROKI merupakan parafrase dari kata bahasa Yunani παροικία (paroikia =
jarak, tetangga). Terminologi Yunani παροικία dibentuk dari dua
kata: prefiks παρά (para- = mendekat ke), seperti paraliturgi, parabol,
paranoid, dst. Dan οικία (jamak) atau οικος (tunggal) berarti
rumah. Secara harafiah bisa diartikan “mendekat ke rumah” atau dengan kata
lain: TETANGGA.
Dalam Bahasa Yunani Kuno, paroikia – paroikos (kata benda)
atau paroikeo (kata kerja) memiliki arti “hidup dekat dengan” atau
“hidup bersama”. Dalam terjemahan Septuaginta PL kata benda paroikia merupakan
sinonim dari “orang asing” atau “pendatang” (bukan orang rumah, tetapi orang
yang mendekati rumah), “hidup sebagai orang asing atau orang yang mengembara
(berziarah)”. Dalam vulgata (terjemahan ke dalam bahasa Latin),
terminologi ini diterjemahkan dengan kata pengembara atau peziarah. Poroikoi
dalam KS bisa diartikan dengan umat Allah yang hidup di perasingan tanpa hak
sebagai warga negara. Mereka hanya memiliki hak sebagai warga dalam perkumpulan
paroikia itu. Di dalam paroikia, mereka yang tidak memiliki
ikatan kewarganegaraan akhirnya memiliki hak sebagai manusia yang bisa diterima
oleh semua anggota kelompok itu.
Jadi PAROIKIA merupakan rumah bagi semua orang, baik orang asing maupun
orang asli tanpa membedakan asal-usul mereka masing-masing. Semua yang
tergabung dalam paroikia memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai
pengembara.
Pastor Paroki
Dalam
kan. 515 § 1-3, ditegaskan bahwa paroki adalah komunitas kaum beriman kristiani
yang dibentuk secara tetap, yang reksa pastoralnya dipercayakan kepada Pastor
paroki sebagai gembalanya sendiri (proprio eiusdem pastori, pastore proprio)
dan dibawah otoritas Uskup diosesan.
Sebab hanyalah Uskup diosesan yang berhak mendirikan, meniadakan atau mengubah
sebuah paroki setelah mendengarkan para dewan imam. Dan sebuah paroki yang
didirikan secara legitim akan memiliki status badan hukum.
Tentang
Pastor paroki, ada satu frase yang sangat penting pada kan. 515 § 1 yakni frase
‘gembalanya sendiri’ (proprio eiusdem pastori). Frase ini menjadi
penting karena hanya disematkan kepada Paus, Uskup dan Pastor paroki. Adapun
tugas dan fungsi dari seorang Pastor paroki, antara lain: mengambil bagian
dalam tri tugas Kristus (menguduskan, mengajar dan memimpin), melayani demi
kebaikan komunitas parokinya, mengenal umat yang dilayaninya, ikut merasakan
kecemasan dan keprihatinan mereka, kunjungan kepada keluarga-keluarga, dan
macam lainnya (bdk. kan. 529). Kan. 530 juga mencatat adanya 7 tugas
penting dari seorang Pastor paroki, yakni: pelayanan baptis, pelayanan sakramen
penguatan, pelayanan viaticum, peneguhan nikah dan pemberkatan perkawinan,
penyelenggaraan upacara pemakaman, pemberkatan bejana baptis pada masa paskah,
perayaan meriah Ekaristi pada hari Minggu dan hari raya (kan. 530).
Masih
tentang paroki dan Pastor paroki, ada dokumen-dokumen lain yang membahasnya
dengan sangat menarik, sebagai misal: dokumen Christus Dominus art.
30-31, atau dokumen Pastores Dabo Vobis (25 Maret 1992) yang
mendedikasikan babnya yang II pada misi pelayanan imamat yang berakar relasi
yang mendasar dengan Kristus sebagai kepala dan gembala atau dokumen lain
seperti Direktori untuk Pelayanan dan Kehidupan Para Imam (1994). Dan
bacaan saya akan isi dari dokumen-dokumen ini, ada empat hal yang bisa
dikatakan di sini: Pertama, sifat pelayanan pastoral seorang Pastor
paroki terlihat dalam persekutuannya dengan uskup; Kedua, dasar
pelayanan seorang imam paroki harus dipupuk dalam spiritualitas imam sebagai
Gembala yang Baik. Ketiga, konsep pelayanan terhadap tanggung jawab
seluruh umat harus dikembangkan. Dan tugas khusus seorang Pastor paroki adalah
pemberdayaan seluruh komunitas dan pemeliharaan persekutuan gerejawi. Dan keempat,
Sifat teologis pelayanan seorang Pastor paroki dapat diidentifikasi pada relasi
erat antara Pastor paroki dan Uskup
diosesan (karakter gerejawi) dengan dasar referensi kepada Kristus sebagai kepala (karakter Kristologis)
yang diungkapkan melalui ikatan sakramental tertentu.
Pastor Paroki dan Kebatalan Perkawinan
Kitab
Hukum Kanonik (KHK) sangat menganjurkan para gembala jiwa mendekati
persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat dengan menggunakan pendekatan dan
sarana pastoral yang memungkinkan pemulihan sebuah keadaan menjadi baik dan
bahkan bisa menjadi pulih kembali. Salah satu gembala jiwa yang dirasa paling
dekat dengan umat adalah Pastor paroki. Dalam hubungannya dengan persoalan
perkawinan, Pastor paroki menjadi pihak yang pertama yang harus didatangi oleh
pasangan. Pasangan tidak boleh membawa kasus-kasus perkawinannya langsung ke
kantor tribunal! Karena itu, sangat diharapkan para Pastor paroki untuk
mengetahui dengan baik dan benar, cara teknis pendampingan umat yang ingin
mengurus proses kebatalan perkawinan mereka.
Sebenarnya,
ada tiga hal mendasar yang perlu diketahui oleh seorang Pastor paroki yakni, pertama
Keterlibatan dan Peranan Pastor Paroki Dalam Proses Anulasi. Pastor paroki
menjadi pihak yang pertama yang harus didatangi oleh pasangan. Setelah melewati
proses konsultasi dan kajian terhadap persoalan perkawinan menurut penilaian
moralnya yang wajar dan masuk akal untuk penyelesaian lewat proses di Tribunal,
barulah Pastor paroki merekomendasikan pasangan yang ada untuk ke kantor
Tribunal dengan membawa dokumen-dokumen yang dibutuhkan. Dokumen yang harus
disiapkan, antara lain: Surat Pengantar dari Pastor Paroki, Fotocopy
Penyelidikan Kanonik, Surat Permandian dan Fotocopy KTP, Surat Nikah, salinan
putusan pengadilan Sipil, Foto Kopi KTP Para saksi, Votum, Surat Permohonan
dari Penggugat, dan bisa juga disertai dengan Surat Pelimpahan Wewenang dari
Tribunal tempat melangsungkan perkawinan.
Kedua, Kewenangan Pastor Paroki dalam Membantu Pasangan Mengajukan Perkara
Anulasi Perkawinan ke Tribunal. Hal ini memuat beberapa pendasaran seperti:
tempat peneguhan perkawinan pasangan terjadi di paroki itu, penggugat dan
tergugat berdomisili dan memiliki kusasi domisili di paroki itu, dan paroki di mana
sebagian besar bukti-bukti ditemukan dan dikumpulkan.
Ketiga, Tugas dan Tanggungjawab Pastor Paroki Setelah Diterbitkan Dekrit
Nullitas Perkawinan oleh Otoritas Yang Berwenang. Pastor paroki bertugas untuk
mengumumkan nullitas perkawinan di parokinya pada saat perayaan ekaristi hari Minggu
sehingga tidak menimbulkan skandal iman bagi anggota komunitas parokial dan
mencatat semua data-data yang berkaitan dengan nullitas perkawinan.
Adapun
juga bantuan-bantuan pastoral dalam proses yuridis kebatalan perkawinan yang
dapat diberikan oleh pastor paroki untuk para pasangan, yaitu dengan: (a)
Mempelajari dan mendalami kasus yang ada sehingga sampai pada kepastian moral
bahwa upaya pastoral untuk “rujuk”
(rekonsiliasi) menjadi tidak mungkin. Setelah menemukan alasan nullitas yang
kuat dalam kasus tersebut, pastor paroki dapat membuat surat pengantar agar
kasus tersebut dapat diproses di tribunal sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
(b) Mendampingi penggugat untuk membuat libellus (surat permohonan) dan
riwayat perkawinan sesuai ketentuan hukum. (c) Membantu penggugat mempersiapkan
berkas-berkas penting yang perlu dilampirkan dalam libellus yakni:
riwayat perkawinan, berkas penyelidikan kanonik, surat baptis terbaru, surat
perkawinan Gereja, salinan putusan pengadilan sipil (bagi yang sudah mengikuti
pencatatan sipil dan sudah cerai secara sipil) dan surat-surat lain yang dapat
dijadikan bukti. (d) Membantu penggugat memastikan data identitas diri,
identitas tergugat dan identitas dari minimal tiga orang saksi yang akan
dihadirkan dalam persidangan. (e) Sejauh perlu membantu tribunal untuk
menghubungi pasangan yang berperkara dan saksi untuk menghadiri persidangan.
Akhir
kata, saya mau menambahkan pesan kecil dari Kan. 1676 yang ditujukan untuk para
hakim yang bekerja di kantor tribunal. Kan. 1676 mengingatkan bahwa hakim,
sebelum menerima perkara dan setiap kali melihat ada harapan akan hasil yang
baik, hendaknya menggunakan sarana-sarana pastoral (yang biasanya terjadi di
paroki antara Pastor paroki dan pasangan), agar suami-istri sedapat mungkin
diajak untuk barangkali mengesahkan perkawinannya dan memperbaiki kehidupan
bersama suami-istri. Tapi jika pendekatan secara pastoral ini gagal barulah
dilayani secara hukum sesuai dengan ketentuan norma hukum kita di kantor
tribunal Gereja masing-masing keuskupan. Dan tugas hakim Gereja di tribunal
bukan secara aktif “membatalkan” perkawinan yang sah, melainkan memeriksa untuk
membuktikan dan menyatakan nullitas atau kebatalan perkawinan (nullitatem
declarandam, declaring nullity). Hakim tidak berusaha mencari dalil-dalil
pembenaran, argument subjektif dari para pihak serta bukti-bukti objektif untuk
membatalkan perkawinan yang diadili. Tugas hakim adalah menyatakan kebatalan (nullitatem
declarandam) sebuah perkawinan, bukan membatalkan sebuah perkawinan.
Dr. Doddy Sasi, CMF