Ekaristi bukanlah sebuah hadiah bagi orang-orang sempurna, melainkan suatu obat penuh daya dan santapan bagi yang lemah”. Dan satu pertanyaan untuk kita: bukankah Ekaristi itu adalah sebuah rahmat?
Sudah beberapa kali saya diajukan sebuah pertanyaan kasuistik soal orang tua yang berpartipasi dalam Perayaan Ekaristi tapi tidak ingin atau tidak bisa menerima Komuni Kudus karena merasa tidak layak, merasa bersalah atau merasa dilarang, sebab ada anggota keluarganya (bisa baca: anaknya) yang hidup bersama dengan pasangannya namun belum diberkati secara gerejawi. Pertanyaan lanjutannya, apakah fenomena ini sebuah kebijakan pastoral atau sebuah kebiasaan yang kemudian menjadi semacam sebuah kebijakan pastoral ataukah sebuah pilihan disiplin hidup pribadi?
Jika fenomena ini adalah sebuah kebijakan pastoral, jujur
saya secara pribadi sulit untuk menemukan dasar normatif yang bisa menjadi
tiang penyanggah kebijakan ini. Sebab bagi saya, setiap kebijakan se-pastoral
apapun perlu berdiri di atas dasar sebuah norma atau aturan. Karena itu, saya
mengajak kita untuk memeriksa beberapa norma dalam Kitab Hukum Kanonik yang
bisa menjadi rujukan dalam memecahkan persoalan ini. Dalam KHK kita terdapat
dua belas nomor kanon yang membahas berbagai aspek soal partisipasi dalam
Ekaristi, yang semuanya berkaitan dengan penerimaan Komuni Kudus. Norma-norma
tersebut mengatur hal-hal berikut: penerima Komuni (kan. 912), penerimaan Komuni
kepada anak-anak (kan. 913), tugas-tugas orang tua dan para gembala (kan. 914),
larangan Ekaristi bagi para pendosa publik (kan. 915), kewajiban untuk mengakui
dosa-dosa berat (kan. 916), Komuni dua kali sehari (kan. 917), Komuni di luar
Misa (kan. 918), puasa Ekaristi (kan. 919), perintah soal Ekaristi (kan. 920),
penerima Viaticum (kan. 921-922), dan Ekaristi di gereja-gereja lain sui
iuris (kan. 923).
Kita bisa menilai fenomena ini dengan dasar pada tiga kanon
berikut: kan. 912, kan. 915 dan kan. 916. Pada kan. 912 ditegaskan bahwa
orang-orang yang telah dibaptislah yang memenuhi syarat untuk dapat dan harus
diterima dalam Ekaristi karena mereka memiliki hak atas sakramen (bdk. kan.
213). Atau dalam kanon 842, § 1, yang dianggap sebagai hukum ilahi, bahwa
setiap penerima Komuni harus dibaptis. Di sisi lain untuk alasan yang baik,
Gereja dapat melarang orang yang telah dibaptis untuk menerima sakramen atau
membatasi penerimaan sakramen. Hukum sangat membatasi akses ke Ekaristi oleh
orang-orang non-Katolik yang telah dibaptis (bdk. kan. 844, §§ 3-4).
Pembatasan-pembatasan ini lebih lanjut dijelaskan dalam kanon-kanon yang
mengikutinya.
Sedangkan kan. 915 merujuk pada para pelayan Ekaristi secara
individu bisa menolak memberikan komuni suci kepada mereka yang secara publik
terkena hukuman ekskomunikasi dan interdik (bdk. kan. 1331, §1,2°; 1332). Para
pelayan ekaristi juga harus menolak memberikan Komuni Suci ketika mereka yakin:
(1) bahwa seseorang telah melakukan dosa yang secara obyektif sangat berat, (2)
bahwa orang yang berdosa itu dengan keras hati bertekun atau membandel dalam
kondisi berdosa ini, dan (3) bahwa dosa ini nyata. Dosa yang nyata adalah dosa
yang diketahui secara umum oleh sebagian besar paroki atau komunitas lain. Dosa
yang dimaksud adalah dosa yang diulangi secara biasa, misalnya, oleh seorang
gangster, pengedar narkoba, atau pelaku aborsi.
Dan yang diindikasikan dengan “keras hati membandel dalam
dosa” adalah ketika Pastor Paroki atau otoritas Gereja lainnya telah dengan
tegas memperingatkan pihak yang melanggar untuk berhenti melakukan dosa, tetapi
peringatan itu tidak diindahkan. Peringatan itu harus mencakup ancaman yang
tegas bahwa Komuni akan ditolak kepada orang berdosa berat yang nyata, untuk
menghindari rasa malu dari yang bersangkutan dari penolakan komuni di depan
umum. Peringatan harus diberikan kepada orang berdosa dalam forum eksternal,
baik secara lisan maupun tertulis, tetapi tidak dapat diberikan jika
pengetahuan tentang dosa itu diperoleh dari forum internal (bdk. 983-984).
Contohnya seorang bapa pengakuan dapat memperingatkan seorang pendosa yang
“keras hati atau kepala” untuk tidak menerima komuni, tetapi bapa pengakuan tidak
boleh menolaknya kecuali ia mengetahui dosa tersebut dari forum eksternal
sebelum dosa itu diakui.
Lalu rujukan lain kita, ada pada kan. 916 yang merupakan
gabungan dari kan. 807 dan kan. 856 dari Kitab Hukum Kanonik 1917, yang
didasarkan pada doktrin Tridentin. Dengan mengutip teks Kitab Suci (1 Kor
11:28-29), Trente menegaskan ajaran Gereja bahwa seseorang yang sadar akan
dosa-dosa berat tidak boleh menerima Ekaristi. Lalu dokumen Eucharisticum
Mysterium art.35 menegaskan disiplin ini, dengan menambahkan bahwa
pengakuan dosa tidak boleh diperdengarkan selama perayaan Misa. Kan. 916 tidak
menambahkan sesuatu yang baru pada disiplin hukum yang lalu dengan mengharuskan
mereka yang sadar, yaitu yakin, telah melakukan dosa berat untuk kembali ke
kondisi rahmat melalui sakramen pengakuan atau tindakan penyesalan yang
sempurna ketika pengakuan sakramental tidak memungkinkan.
Setelah melihat isi dari ketiga norma di atas, tentu saja ada
kesimpulan yang bisa kita tarik keluar berkaitan dengan fenomena kasuistik yang
dibahas. Pertama, jika fenomena ini adalah sebuah kebijakan pastoral atau
sebuah kebiasaan yang kemudian menjadi semacam sebuah norma atau kebijakan pastoral
tak tertulis, maka rasa-rasanya kebijakan ini tidak didirikan atau didasari
pada sebuah bangunan kontruksi hukum yang kuat. Kedua, orang tua yang
bersangkutan dengan kasus ini tidak ada dalam kondisi dosa yang berat, juga
jika tidak terkena hukuman ekskomunikasi dan interdik, dan jika dia atau mereka
adalah orang yang telah dibaptis maka mereka layak untuk menerima komuni kudus.
Ketiga, situasi dosa dari anak-anak atau seandainya itu adalah hukuman yang
dikenakan pada anak-anak, maka hukuman itu tidak bisa dikenakan atau diterapkan
pada orang tua mereka. Jadi pada titik ini, orang tua tidak perlu merasa
bersalah atau berdosa untuk tidak menerima komuni kudus saat berpartisipasi
dalam Perayaan Ekaristi. Keempat, dari sisi kesadaran moral. Bisa saja orang
tua merasa bersalah karena sadar akan kurangnya tanggung jawab moral dari
mereka terhadap anak-anak tapi pemurnian dan pembersihan kesadaran bisa
dilakukan dengan pengakuan dosa atau dengan tobat hati yang sempurna agar
kemudian bisa berpartisipasi dan menerima Komuni Kudus.
Akhirnya saya menutup dengan kata-kata yang pernah
disampaikan oleh Paus Fransiskus dalam Amoris Laetitia pada catatan kaki
nomor 351 bahwa “Ekaristi bukanlah sebuah hadiah bagi orang-orang sempurna,
melainkan suatu obat penuh daya dan santapan bagi yang lemah”. Dan satu
pertanyaan untuk kita: bukankah Ekaristi itu adalah sebuah rahmat?
Jawabannya..!! Kita bisa jawab masing-masing dalam hati.
Dr. Doddy Sasi, CMF