Membangun Komunitas yang Saling Mendengarkan

Komunikasi dan saling mendengarkan sesama anggota komunitas merupakan syarat untuk bertumbuh bersama sebagai komunitas religius.

Membangun Komunitas yang Saling Mendengarkan

A.     Pengantar

Hidup persaudaraan dalam komunitas pertama-tama merupakan anugerah Allah, tetapi juga membutuhkan usaha manusia (semua anggota) untuk merawat dan menghidupinya. Ketidakmampuan untuk memahami dan mengkontemplasikan hakekat hidup persaudaraan sebagai anugerah Allah, acapkali melahirkan pandangan dan pemahaman yang melihat komunitas hanya sebatas realitas sosio-antropologis semata. Padahal, jauh sebelum ikhtiar manusia untuk mengusahakan dan merawat organisme hidup bersama tersebut, hidup persaudaraan selalu merupakan anugerah yang kita terima dari Allah.


Komunitas sebagai anugerah Allah inipun tidak mampu mengaktualisasikan dirinya sendiri, tanpa keterlibatan semua anggota yang menjadi bagian dari persekutuan hidup tersebut. Seperti halnya rahmat membutuhkan kodrat, bahwa rahmat saja tidak cukup, apalagi hanya kodrat saja tentu akan lebih tidak berdaya lagi; demikian juga hidup persaudaraan dalam komunitas sebagai anugerah Allah, membutuhkan keterlibatan semua anggota, agar persekutuan hidup tersebut menjadi tanda kesaksian persekutuan Trinitaris sendiri.


Untuk tiba pada cita-cita mewujudkan hidup persaudaraan dalam komunitas yang berjiwa sekaligus berkarakter persekutuan dan harmoni Trinitaris, ada banyak kebajikan hidup yang mesti dihidupi dan diusahakan oleh semua anggota komunitas; salah satunya adalah membangun habitus mendengarkan. Mendengarkan merupakan prinsip yang esensial dalam hidup bersama. Paus Fransiskus dalam Pesan Hari Komunikasi Sosial Sedunia Ke-56 (29 Mei 2022), mengatakan pentingnya “Mendengarkan Dengan Telinga Hati,” sebagai prinsip mendasar dalam membangun komunikasi yang efektif dan benar. Karena “mendengarkan merupakan syarat yang menentukan dalam tata komunikasi dan merupakan sebuah kondisi untuk dialog sejati,” demikian lanjut Bapa Suci.


Mendengarkan, apalagi “mendengarkan dengan telinga hati,” bukan merupakan perkara yang mudah. Banyak persoalan muncul dalam kehidupan bersama terjadi karena ketidakmampuan dalam mendengarkan, baik mendengarkan diri sendiri, mendengarkan sesama, bahkan mendengarkan suara Tuhan sendiri. Hal tersebut menjadi tantangan dalam membangun komunikasi yang autentik saat ini, baik dalam kehidupan masyarakat pada umumnya maupun komunitas religius pada khususnya. Selain itu ada banyak tantangan lain dalam membangun hidup persaudaraan dalam komunitas. Beberapa diantaranya disebutkan dan diuraikan dengan amat singkat berikut ini.

 

B.     Tantangan Hidup Berkomunitas Saat Ini

Hidup berkomunitas sesungguhnya adalah sebuah pengalaman yang amat indah. Mazmur 133 membahasakan kekaguman terdalamnya tersebut seperti berikut, “Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun!” (ay. 1). Pengalaman sang Pemazmur tentu menjadi impian dan kerinduan setiap orang untuk sungguh-sungguh mengalami keindahan sebuah persekutuan hidup bersama. Meskipun demikian, kita juga masih menemukan ada begitu banyak tantangan dan kesulitan dalam hidup berkomunitas saat ini. Ada sebagian orang yang sudah merasa jenuh dan lelah untuk membangun, mengusahakan, menghidupi dan merawat kehidupan berkomunitasnya untuk tetap baik dan harmonis. Jauh lebih buruk dari pengalaman-pengalaman tersebut, ada sebagian orang yang bahkan melihat (dan bisa saja mengalami) kehidupan berkomunitas sebagai “neraka,” dengan api yang bernyala-nyala dalam sikap dan tutur kata para anggota, yang acapkali meniadakan ruang bagi tempat lahirnya percakapan-percakapan yang mengalirkan kehidupan, yang terejahwantah dalam proyek hidup bersama.


Selain kesulitan mendengarkan sebagaimana yang sudah kami sebutkan pada bagian pengantar di atas, tantangan dan kesulitan lain yang bisa saja kita temukan dan alami (sendiri) dalam hidup berkomunitas saat ini adalah individualisme yang mengkarakter, yang acapkali hanya berorientasi pada dan ke dalam diri sendiri sambil menegasi kehadiran dan peran serta anggota lain; ketidakpedulian dan ketidakpekaan baik terhadap situasi maupun terhadap kehadiran anggota lain di dalam komunitas; ketidakmampuan untuk membangun semangat kerja sama (team work) dengan anggota komunitas lainnya; kurang menghidupi kebajikan kerendahan hati (humility), sebagai kebajikan dasariah dan humus tempat bertumbuhnya kebajikan-kebajikan hidup lainnya; kurang [atau bahkan tidak] memahami dengan baik apa itu hidup bakti dan apa artinya hidup dalam komunitas sebagai seorang hidup bakti.


Tantangan dan kesulitan tersebut bisa berasal dari luar, tetapi jauh lebih banyak berasal dari dalam diri setiap anggota komunitas yang bersangkutan. Kapasitas dan habitus untuk mengintrospeksi diri (inward journey – dalam ungkapan J. Henry Nouwen), merupakan langkah yang sangat penting untuk semakin mengenal diri sendiri dalam relasinya dengan yang lain. Dalam kaitannya dengan relasi antar pribadi tersebut, seni mendengarkan (the art of listening) dan saling memberi koreksi dalam suasana persaudaraan menjadi kebutuhan yang harus dan terus disediakan oleh komunitas kini dan di sini.

 

C.     Komunitas dan Koreksi Persaudaraan dalam Terang Matius 18:15-20

Tidak ada komunitas yang sempurna dan tidak ada hidup persaudaraan yang tidak pernah dilukai oleh kekeliruan atau kesalahan sesama anggotanya. Dalam komunitas kedua belas rasulpun kita menjumpai pengalaman ketidaksempurnaan tersebut. Proyek kemuridan sebagaimana diajarkan dan dihidupi oleh Yesus, Sang Guru, tidak serta-merta dipahami oleh para murid. Mereka bahkan memiliki impian dan ambisi mereka sendiri (cf. Luk. 9: 46-48). Atau formasi kemuridan sepanjang tiga tahun yang dijalankan oleh Yudas Iskariot ternyata hanya berujung dengan pengkhianatan dengan sebuah ciuman dan nilai tukar tiga puluh uang perak kepada Gurunya sendiri (cf. Mat. 26: 15; 48-49). Selain itu cinta dan keberanian Yakobus dan Yohanes yang meluap-luap, bahkan hingga meminta kepada Gurunya, jika Ia mau supaya mereka menurunkan api dari langit untuk membinasakan orang-orang Samaria karena menghalangi perjalanan mereka menuju ke Yerusalem (cf. Luk. 9: 51-55), ternyata tak pernah berujung setia hingga tiba di kaki salib. Bahkan sejak masih di Taman Getsemani saat Yesus ditangkappun, para murid sudah lari meninggalkan Yesus seorang diri. Dan tentu masih banyak tokoh dan karakter lain dalam Injil yang menunjukkan ketidaksempurnaan mereka dalam mengikuti Kristus.


Meskipun dalam ketidaksempurnaan tersebut, salah satu aspek yang membuat komunitas Para Rasul ini menjadi panutan bahkan menjadi inspirasi dan pola kehidupan persaudaraan dalam komunitas religius adalah kemampuan untuk menerima pengampunan dan pada saat yang sama, memberikan pengampunan tanpa batas waktu kepada sesama. Dalam banyak kesempatan juga melalui perumpamaan, Yesus mengajarkan pentingnya membuka diri kepada Bapa dan mengalami kerahiman Bapa serta meneruskan pesan kerahiman dan pengampunan tersebut kepada sesama.


Keterbukaan terhadap kerahiman dan pengampunan tersebut juga menunjukkan sikap dan keterbukaan seorang anggota komunitas untuk dikoreksi dan dinasihati. Narasi Injil Matius 18:15-20, sesungguhnya menyuluh langkah misioner-kemuridan kita dalam memberi dan menerima koreksi persaudaraan dalam hidup berkomunitas. Mengikuti alur teks tersebut, ada beberapa langkah dalam memberikan koreksi dan nasihat persaudaraan kepada saudara yang berbuat salah.


Sebagaimana dikisahkan teks, jika ada saudara yang bersalah, dia harus ditegur demi pertobatannya. Dia harus ditegur di bawah empat mata. Kalau ia tidak berubah juga, kepadanya harus dibawa dua atau tiga saksi agar perkaranya tidak disangsikan. Di sana pun, ia harus dinasihati. Tetapi kalau ia tetap tidak berubah, perkaranya harus dibawa kepada jemaat. Jika ia masih tidak mau mendengarkan, ia dianggap sebagai seorang yang tidak mengenal Allah.


Yang menarik dari kisah ini adalah bahwa Yesus tetap mengajarkan supaya jemaat lebih mendahulukan nasihat yang membawa kembali saudara yang bersalah itu ke dalam kesatuan jemaat. Prinsip ini sesungguhnya mengalir dari prinsip Allah sendiri yang tidak membiarkan seorang anak-Nya pun tersesat dan hilang dari kawanan-Nya (St. Eko Riyadi, 2011). Prinsip kerahiman dan belas kasih Allah ini sangat penting dalam memberikan koreksi persaudaraan kepada anggota komunitas yang bersalah agar tak seorangpun yang dikecualikan atau tidak dirangkum dalam persekutuan hidup bersama sebagai saudara. Di atas semuanya itu tentu komunikasi dan mendengarkan dengan telinga hati tentang narasi hidup sesama menjadi syarat penting dalam memberikan anjuran dan nasihat persaudaraan.

 

D.    Komunikasi dan Mendengarkan sebagai Syarat Penting dalam Hidup Berkomunitas

Komunikasi dan mendengarkan adalah dua aspek yang amat fundamental dalam sebuah organisme hidup bersama. Sulit nian membayangkan sebuah kisah perjumpaan, apalagi sebuah paguyuban hidup bersama tanpa komunikasi dan saling mendengarkan. Komunitas tanpa komunikasi dan mendengarkan sesungguhnya menegasi hakekatnya asalinya sendiri sebagai persekutuan hidup bersama (koinos bios), yang mensyaratkan relasi dan interrelasi. Dengan demikian, komunikasi dan saling mendengarkan dengan telinga hati bukan hanya merupakan kondisi untuk sebuah dialog yang sejati, tetapi juga merupakan syarat untuk membangun dan menghidupi komunitas yang baik dan ramah.


Gagasan pentingnya komunikasi dan saling mendengarkan dalam mengusahakan dan merawat hidup bersama dalam komunitas ditegaskan juga dalam dokumen Fraternal Life in Community (Hidup Persaudaraan Dalam Komunitas – 1994). Pada salah satu bagian dalam dokumen tersebut dijelaskan bahwa, “komunikasi telah menjadi salah satu faktor manusiawi yang dipandang semakin bernilai penting bagi hidup komunitas religius. Kebutuhan yang paling dirasakan untuk mengembangkan hidup persaudaraan dalam komunitas membawa serta tuntutan akan komunikasi yang lebih luas dan lebih intens. Untuk menjadi saudara dan saudari perlulah saling mengenal. Untuk saling mengenal sangat penting berkomunikasi secara lebih luas dan lebih mendalam” (no. 29).


Uraian tersebut membuka wawasan kita mengenai pentingnya komunikasi sebagai jalan untuk semakin mengenal narasi hidup saudara-saudari sekomunitas. Pengenalan narasi dan karakter hidup sesama anggota komunitasnya tersebut tentu sangat berguna dalam merenda narasi dan kisah hidup bersama sebagai komunitas dan misi yang sedang diemban oleh komunitas yang bersangkutan. Dengan kata lain, pengenalan yang merupakan buah komunikasi dan percakapan, tidak hanya bertujuan untuk membantu relasi antar pribadi, tetapi juga untuk menampung dan menyamakan impian yang akhirnya menjadi proyek hidup bersama komunitas yang bersangkutan.


Komunikasi untuk menenun impian dan komitmen bersama tersebut juga bisa dilaksanakan melalui pertemuan-pertemuan rutin komunitas. Seperti yang ditegaskan dalam no. 29, “Pertemuan-pertemuan tersebut merupakan saat-saat berguna juga untuk mendengarkan yang lain, membagikan pemikiran-pemikirannya, meninjau kembali dan mengevaluasi perjalanan yang telah dilakukan, memikirkan dan membuat perencanaan bersama,” sebagai komunitas. Dengan demikian, komunikasi dan saling mendengarkan sesama anggota komunitas merupakan syarat untuk bertumbuh bersama sebagai komunitas religius. Kita tentu tergoda untuk bertanya, apa artinya hidup persaudaraan dalam komunitas sebagai religius? Pertanyaan tersebut tentu membantu kita untuk memahami dan memaknai arti hidup persaudaraan yang autentik dan sesungguhnya sebagaimana cita-cita kita bersama.

 

E.      Keindahan Hidup Persaudaraan sebagai Religius

Dalam ikhtiar untuk memahami dan memaknai serta merayakan hidup persaudaraan dalam komunitas, dokumen Fraternal Life in Community (Hidup Persaudaraan Dalam Komunitas), memberikan tiga kunci untuk membuka khazanah keindahan hidup berkomunitas. Pertama, komunitas religius adalah anugerah atau karunia yang kita terima dari Allah. Kedua, komunitas religius merupakan locus, tempat kita mewujudkan panggilan kita menjadi saudara dan saudari. Ketiga, komunitas religius merupakan tempat dan subyek misi. Dalam paparan ini, kami hanya menggarisbawahi dimensi pertama, sedangkan dua dimensi lainnya menjadi bahan telisikan kita masing-masing.


Titik berangkat kita untuk memahami dan memaknai komunitas religius sebagai karunia Allah adalah pengalaman akan Allah yang kita miliki. Kesadaran dan kedalaman pengalaman akan Allah untuk melihat bahwa panggilan hidup bersama menciptakan komunitas. Ada berbagai bentuk pengalaman iman yang bersifat unik bagi para anggota komunitas religius. Pengalaman-pengalaman iman khusus ini membentuk hakikat khusus dari komunitas religius tersebut dan menjadikannya sebagai tanda unik akan karunia persekutuan persaudaraan.


Salah satu bentuk pengalaman iman partikular tersebut adalah pengalaman iman akan “convocation”: para anggota komunitas religius tersebut telah datang untuk hidup bersama oleh sebab “panggilan hidup.” Keberadaan komunitas religius tersebut sesungguhnya bukan disebabkan oleh pertalian alami, entah itu biologis atau sosial, melainkan oleh panggilan hidup karismatis bersama. Dengan kata lain, komunitas dan hidup persaudaraan yang sedang kita tenun dan hidupi, pertama-tama bukan usaha dan ciptaan manusia.


Oleh karena komunitas dan hidup persaudaraan yang kita tenun bukan pertama-tama usaha kita manusia, maka dibutuhkan kemampuan untuk melihat melampaui realitas-faktual. Dalam dokumen “The Contemplative Dimension of Religious Life” (1980) dinyatakan bahwa, “Komunitas religius itu pada hakikatnya adalah suatu realitas teologis, sebuah objek kontemplasi. …sebuah keluarga yang disatukan dalam nama Tuhan…” (a. 15a). Para anggota komunitas religius memutuskan untuk hidup bersama bukan karena mereka bertemu secara kebetulan dan kemudian belajar untuk saling menyukai satu sama lain, melainkan karena mereka yakin secara iman bahwa Allah telah memanggil mereka untuk menciptakan suatu komunitas bersama.


Konsekuensinya, karena mereka bukan berhimpun terutama atas dasar daya tarik alami, kehidupan komunitas yang mereka tempuh ini menuntut adanya upaya manusiawi lebih lanjut. Karisma bersama yang dimiliki oleh kaum religius tidak lantas serta-merta menghadirkan keselarasan; ini merupakan suatu hal yang akan terus diupayakan. Dalam bahasa teolog hidup bakti, José Cristo Rey Garcia Paredes, CMF, “melihat saudara dan saudari dengan mata sakramental.” Dengan tatapan sakramental seperti ini tidak akan menimbulkan kesulitan dalam mengasihi sesama anggota komunitas.

 

F.     Penutup: Panggilan Membagun Hidup Berkomuntas yang Saling Mendengarkan; Sebuah Ikhtiar yang Tidak Pernah Selesai

Panggilan hidup bakti adalah jawaban atas kegundahan spiritual sepanjang menekuni ziarah misioner-kemuridan mencari wajah Allah (God’s quest – Sandra Schneiders) dalam pengalaman hidup sehari-hari. Pengalaman tersebut meskipun bersifat personal dan unik, tetapi selalu terarah dan dihidupi sebagai pengalaman convocation dalam dan bersama komunitas.

Panggilan misioner-kemuridan dalam komunitas hidup bakti dalam ikhtiar untuk memahami panggilan sebagai sebuah pengalaman convocation tersebut merupakan gerakan sinodal internal menuju sinodalitas Gereja semesta, seperti kata João Braz Kardinal de Aviz, Prefek Kongregasi untuk Tarekat Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan dalam pesannya menyambut Hari Hidup Bakti 02 Februari 2022, “Kita semua sadar bahwa sinodalitas selalu dimulai dari dalam: dari perubahan mentalitas, dari pertobatan personal, di dalam komunitas kita, di rumah, di tempat kerja, dalam struktur-struktur dan diteruskan dalam misi serta pelayanan kita.”

Lebih lanjut Kardinal de Aviz mengatakan, “Mari kita masuk dalam peziarahan ini bersama dengan seluruh Gereja, dengan segala kekayaan karisma dan hidup kita, tanpa berusaha untuk menyembunyikan segala luka dan narasi kelam kita, dengan satu keyakinan yang teguh bahwa kita hanya bisa memberi dan menerima yang baik itu karena hidup bakti itu lahir di dalam Gereja, dia bertumbuh dan menghasilkan buah-buah kesaksian hidup injili hanya di dalam Gereja, hidup dalam komunio bersama dengan umat Allah,” dan impian tersebut bisa terwujud jika kita memiliki habitus mendengarkan yang baik.

Kerinduan dan ikhtiar menenun impian bersama dalam gerakan sinodal tersebut merupakan petualangan yang tidak pernah selesai. Sepanjang menekuni jalan kemuridan ini, kita tetap menjadi komunitas peziarah, sebagai bagian dari umat Allah yang terus mencari wajah Allah dan terutama “mendengarkan dengan telinga hati” Dia yang berbicara kepada kita pada setiap waktu dan setiap kesempatan. Kerinduan perennial ini dibahasakan dengan indah oleh José Cristo Rey Garcia Paredes, CMF – teolog hidup bakti seperti ini, “Di dalam diri kita ada suatu kehausan yang tak terpuaskan yang menjadikan diri kita selamanya pengemis atau peminta-minta. Ketidaksempurnaan ini menciptakan kerinduan akan yang tak terbatas, atau sesuatu yang menyimbolkannya,” dan kehausan tersebut hanya akan terpuaskan saat kita berjumpa dengan Allah yang menjadi semua di dalam di dalam semua (Bdk. 1Kor 15:28).


Penulis: Yoseph Ferdinandus Melo, CMF

 

Bahan Bacaan:

1.   Pesan Bapa Suci Paus Fransiskus Pada Hari Komunikasi Sosial Sedunia Ke-56, 29 Mei 2022.

2.      Hidup Persaudaraan Dalam Komunitas – Dokumen dari Kongregasi untuk Tarekat Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan, Roma, 02 Februari 1994.

3.     Paredes, José Cristo Rey Garca, Theology of Religious Life – Covenant and Mission 4 – Communion and Community, Quezon City, Philippines: Claretian Publications and Institute for Consecrated Life in Asia, 2006.

Berikan Komentar
Silakan tulis komentar dalam formulir berikut ini (Gunakan bahasa yang santun). Komentar akan ditampilkan setelah disetujui oleh Admin
AGENDA
LINK TERKAIT