Sudah beberapa kali saya ditanya dengan substansi bunyi pertanyaan yang sama: "Dapatkah seseorang yang sudah berpisah (bisa dibaca: bercerai) lalu menikah lagi, bisa menerima Komuni Kudus?"
Sudah beberapa kali saya ditanya dengan substansi bunyi
pertanyaan yang sama: "Dapatkah seseorang yang sudah berpisah (bisa
dibaca: bercerai) lalu menikah lagi, bisa menerima Komuni Kudus?". Ada
beberapa rujukkan ajaran Gereja yang bisa membantu kita menjawab pertanyaan
ini, misalnya Anjuran Apostolik Familiaris
Consortio (1981) dari Santo Yohanes Paulus II dan Seruan Apostolik Pascasinode
Amoris Laetitia (2016) dari Paus
Fransiskus.
Familiaris Consortio
Pada bagian FC. art. 84 yang membahas soal “Mereka yang Bercerai
dan Menikah Lagi” dapat kita temukan satu penggalan paragraf yang cukup
menarik: “Akan tetapi Gereja menegaskan
lagi praktiknya yang berdasarkan Kitab suci, untuk tidak mengizinkan mereka
yang bercerai, kemudian menikah lagi, menyambut Ekaristi suci. Mereka tidak
dapat diizinkan, karena status dan kondisi hidup mereka berlawanan dengan
persatuan cinta kasih antara Kristus dan Gereja, yang dilambangkan oleh
Ekaristi dan merupakan buahnya. Selain
itu masih ada alasan pastoral khusus lainnya. Seandainya mereka itu
diperbolehkan menyambut Ekaristi, umat beriman akan terbawa dalam keadaan sesat
dan bingung mengenai ajaran Gereja, bahwa pernikahan tidak dapat diceraikan”.
Lanjut FC masih pada nomor yang sama: Pendamaian melalui Sakramen Tobat, yang membuka pintu kepada Ekaristis,
hanya dapat diberikan kepada mereka, yang
menyesalkan bahwa mereka telah menyalahi lambang Perjanjian dan
kesetiaan terhadap Kristus, dan setulus hati bersedia menempuh jalan hidup,
yang tidak bertentangan lagi dengan tidak terceraikannya pernikahan. Dalam
praktiknya itu berarti, bahwa bila karena alasan-alasan serius, misalnya
pendidikan anak-anak, pria dan wanita tidak dapat memenuhi kewajiban untuk
berpisah, mereka “sanggup menerima kewajiban untuk hidup dalam pengendalian
diri sepenuhnya, artinya dengan berpantang dari tindakan-tindakan yang khas
bagi suami-istri”.
Dari pernyataan FC 84 diatas, ada beberapa hal yang bisa
kita tarik keluar. Pertama, bahwa
pada pasangan suami istri yang perkawinanya sudah sah secara Katolik, namun
bercerai dan menikah lagi atau hidup bersama dengan orang lain tanpa ikatan
perkawinan yang sah, Gereja tidak dapat memberikan Komuni kudus. Kedua, ada pengecualian bahwa Komuni
kudus dapat diberikan kepada pasangan, jika mereka bertobat, dan dengan tulus,
tidak melakukan hubungan suami istri. Dengan lain kata, ada kebaruan yang dihadirkan
oleh dokumen Familiaris Consortio di sini yakni kemungkinan mengakses Sakramen
Tobat dan Ekaristi bagi pasangan yang menemukan diri dalam situasi yang “tidak
teratur” tapi mau bertobat, dan mengambil komitmen mengontrol diri dengan
berpantang dari tindakan yang khas sebagai suami-istri.
Amoris Laetitia
Pada dokumen Amoris
Laetitia Bab VIII yang tampil dengan judul “Mendampingi, Menegaskan dan Mengintegrasikan
Kelemahan” dapat pula dijumpai pembahasan sehubungan dengan kemungkinan akses
ke sakramen-sakramen "orang yang bercerai yang kemudian menjalani
kehidupan baru". Ada satu kutipan menarik dari AL art. 305: “…Karena faktor-faktor yang mengondisikan dan
meringankan, dimungkinkanlah bahwa di dalam suatu situasi objektif dosa – yang
mungkin tidak bersalah secara subjektif, atau sepenuhnya bersalah– seseorang
dapat hidup dalam rahmat Allah, dapat mencintai dan dapat juga bertumbuh, dalam hidup yang penuh rahmat dan amal kasih,
dengan menerima bantuan Gereja untuk tujuan ini. Penegasan harus membantu menemukan
cara-cara yang mungkin untuk menanggapi Allah dan bertumbuh di tengah-tengah keterbatasan…”.
Penegasan diatas dilengkapi lagi dengan catatan kaki nomor
351 dari Amoris Laetitia yang berbunyi: “Dalam kasus-kasus tertentu, hal ini dapat mencakup bantuan sakramen
sakramen. Karena itu, “Saya ingin
mengingatkan para imam bahwa tempat pengakuan dosa bukanlah ruang penyiksaan,
melainkan suatu perjumpaan dengan belas kasih Allah”. Saya juga ingin menunjukkan bahwa Ekaristi “bukanlah sebuah hadiah bagi
orang-orang sempurna, melainkan suatu obat penuh daya dan santapan bagi yang
lemah”. Kebaruan dari Amoris Laetitia ini terletak pada luasnya
penerapan dengan prinsip yang bertahap (yang sebenarnya sudah ada pada Familiaris
Consortio), dalam penegasan spiritual dan pastoral dari tiap-tiap kasus.
Lebih lanjut
Kardinal Francesco Coccopalmerio dalam bukunya “Il Capitolo Ottavo dell’Esortazione Post Sinodale Amoris Laetitia”
(Bab VIII dari Seruan Apotolik Postsinodale Amoris Laetitia) menjelaskan
bahwa "dalam kasus-kasus tertentu" bantuan Gereja untuk mereka yang
disebut pasangan "tidak teratur" untuk bertumbuh dalam rahmat
"bisa" juga berarti menerima "bantuan sakramen" dengan
tanpa menempatkan pantangan hubungan seksual sebagai kewajiban yang mutlak.
Sebuah interpretasi otoritatif yang bisa dibilang mengatasi banyak kebingungan,
keraguan dan kritik yang muncul pada tubuh Gereja saat itu dan kini terlebih
dalam kaitan dengan doktrin dan pelayanan pastoral. Untuk pula diketahui bahwa
saat bukunya diterbitkan pada tahun 2017, Kardinal F. Coccopalmerio masih
menjabat sebagai Presiden Dewan Kepausan Untuk Teks-Teks Legislatif.
Menutup ulasan
singkat ini, saya mengutip dua pertanyaan dari Kardinal F. Coccopalmerio: «Jika Paus saja tidak mengabaikan mereka yang
melakukan kesalahan, apakah sikap saya ini merugikan doktrin? Dengan menerima pendosa, apakah saya
membenarkan perilakunya dan mengingkari doktrin?». Kita bisa jawab
masing-masing dalam hati. Akhirnya, pertanyaan yang sering muncul dan mempertentangkan
antara doktrin dan pelayanan pastoral sebenarnya adalah sebuah pertanyaan kuno
yang kadang "tidak mengenal alternatif, tetapi hanya integrasi yang
harmonis di antara keduanya".
Dr. Doddy Sasi, CMF