Kecerdasan Artifisial dan Kebijaksanaan Hati: Menuju Komunikasi yang Sungguh Manusiawi

Agar kemanusiaan kita tidak kehilangan arah, marilah kita mencari kebijaksanaan yang telah ada sebelum segala sesuatu (bdk. Sir 1:4): kebijaksanaan ini akan membantu kita untuk menempatkan sistem kecerdasan artifisial dalam melayani komunikasi yang sepenuhnya manusiawi.

Pesan Bapa Suci Paus Fransiskus
Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-58

 

Kecerdasan Artifisial dan Kebijaksanaan Hati: Menuju Komunikasi yang Sungguh Manusiawi

 

Para saudara dan saudari!

Perkembangan sistem kecerdasan artifisial, yang menjadi pokok bahasan dalam Pesan Hari Perdamaian Sedunia baru-baru ini, secara radikal mempengaruhi dunia informasi dan komunikasi, dan melaluinya, dasar-dasar kehidupan tertentu dalam masyarakat. Perubahan ini mempengaruhi semua orang, tidak hanya para pakar di bidang-bidang tersebut. Penyebaran inovasi yang menakjubkan, yang cara kerja dan potensinya berada di luar kemampuan sebagian besar dari kita untuk memahami dan menghargai, telah terbukti menarik sekaligus membingungkan. Hal ini tak pelak menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang lebih mendalam tentang sifat manusia, keunikan kita, dan masa depan spesies homo sapiens di era kecerdasan artifisial. Bagaimana kita dapat tetap menjadi manusia seutuhnya dan memandu transformasi budaya ini untuk tujuan yang baik?

 

Dimulai dari Hati

Pertama-tama, kita perlu mengesampingkan prediksi bencana dan efeknya yang mematikan. Seabad yang lalu, Romano Guardini merefleksikan teknologi dan kemanusiaan. Guardini mendesak kita untuk tidak menolak "yang baru" dalam upaya untuk "melestarikan dunia yang indah yang dikutuk untuk menghilang". Pada saat yang sama, ia secara profetis memperingatkan bahwa "kita terus-menerus berada dalam proses menjadi. Kita harus masuk ke dalam proses ini, masing-masing dengan caranya sendiri, dengan keterbukaan tetapi juga dengan kepekaan terhadap segala sesuatu yang merusak dan tidak manusiawi di dalamnya". Dan dia menyimpulkan: "Ini hanyalah masalah teknis, ilmiah dan politis, tetapi tidak dapat diselesaikan kecuali dengan memulai dari kemanusiaan kita. Sebuah jenis manusia baru harus terbentuk, yang diberkahi dengan spiritualitas yang lebih dalam dan kebebasan serta interioritas yang baru".[i]

Pada saat ini dalam sejarah, yang berisiko menjadi kaya akan teknologi dan miskin akan kemanusiaan, refleksi kita harus dimulai dari dalam hati manusia.[ii] Hanya dengan mengadopsi jalan spiritual dalam memandang realitas, hanya dengan memulihkan kebijaksanaan hati, kita dapat menghadapi dan menafsirkan kebaruan zaman dan menemukan kembali jalan menuju komunikasi yang manusiawi. Dalam Alkitab, hati dipandang sebagai tempat kebebasan dan tempat pengambilan keputusan. Hati melambangkan integritas dan kesatuan, tetapi juga melibatkan emosi, keinginan, dan impian kita; lebih dari pada itu, hati adalah tempat pertemuan kita dengan Tuhan. Kebijaksanaan hati, dengan demikian, adalah kebajikan yang memungkinkan kita untuk mengintegrasikan keseluruhan dan bagian-bagiannya, keputusan kita dan konsekuensinya, kemuliaan dan kerentanan kita, masa lalu dan masa depan kita, individualitas dan keanggotaan kita dalam komunitas yang lebih besar.

Kebijaksanaan hati membiarkan dirinya ditemukan oleh mereka yang mencarinya dan dilihat oleh mereka yang mencintainya; kebijaksanaan hati mengantisipasi mereka yang menginginkannya dan mencari mereka yang layak menerimanya (bdk. Keb. 6:12-16). Ia menyertai mereka yang mau menerima nasihat (bdk. Ams. 13:10), mereka yang dikaruniai hati yang taat dan yang mau mendengar (bdk. 1 Raj. 3:9). Karunia Roh Kuduslah, yang memampukan kita untuk melihat segala sesuatu dengan mata Tuhan, untuk melihat hubungan, situasi, peristiwa, dan menyingkap makna yang sebenarnya. Tanpa kebijaksanaan ini, hidup menjadi hambar, karena kebijaksanaan - yang berasal dari bahasa Latin sapere, yang berhubungan dengan kata benda sapor - yang memberikan "kenikmatan" [rasa nikmat] pada kehidupan.

 

Peluang dan Bahaya

Kebijaksanaan seperti itu tidak dapat ditemukan dalam mesin. Meskipun istilah "kecerdasan artifisial" sekarang ini telah menggantikan istilah yang lebih tepat, "pembelajaran mesin", yang digunakan dalam literatur ilmiah, penggunaan kata "kecerdasan" dapat menyesatkan. Tidak diragukan lagi, mesin memiliki kapasitas yang jauh lebih besar daripada manusia dalam menyimpan dan menghubungkan data, tetapi hanya manusia yang mampu memahami data tersebut. Ini bukan hanya masalah membuat mesin tampak lebih manusiawi, tetapi membangunkan manusia dari tidur yang disebabkan oleh ilusi kemahakuasaan, berdasarkan keyakinan bahwa kita adalah subjek yang sepenuhnya otonom dan mengacu pada diri sendiri, terlepas dari semua ikatan sosial dan lupa akan status kita sebagai ciptaan.

Manusia selalu menyadari bahwa mereka tidak mandiri dan telah berusaha untuk mengatasi kerentanan mereka dengan menggunakan segala cara yang memungkinkan. Dari benda-benda (artefak) prasejarah yang paling awal, yang digunakan sebagai alat bantu kerja tangan; dan kemudian muncullah media, yang digunakan sebagai menyebarkan kata-kata yang diucapkan; kita sekarang telah mampu menciptakan mesin yang sangat canggih yang berfungsi sebagai pendukung pemikiran. Akan tetapi, setiap alat ini dapat disalahgunakan oleh godaan primordial untuk menjadi seperti Allah tanpa Allah (bdk. Kej. 3), yaitu, keinginan untuk mendapatkan sesuatu dengan usahanya sendiri padahal sudah diterimanya secara cuma-cuma sebagai hadiah dari Allah agar bisa dinikmati bersama dengan orang lain.

Tergantung pada kecenderungan hati, segala sesuatu yang berada dalam jangkauan kita dapat menjadi sebuah peluang atau ancaman. Tubuh kita, yang diciptakan untuk komunikasi dan persekutuan, dapat menjadi alat untuk menyerang yang lain. Demikian juga, setiap perpanjangan teknis dari kemanusiaan kita dapat menjadi sarana pelayanan yang penuh kasih atau dominasi yang penuh permusuhan. Sistem kecerdasan artifisial dapat membantu mengatasi ketidaktahuan dan memfasilitasi pertukaran informasi antara masyarakat dan generasi yang berbeda.

Sebagai contoh, mereka dapat membuat warisan pengetahuan tertulis yang sangat banyak dari masa lampau sehingga dapat diakses dan dimengerti atau memungkinkan komunikasi antara individu yang tidak memiliki bahasa yang sama. Namun, pada saat yang sama, mereka dapat menjadi sumber "polusi pikiran", distorsi realitas oleh narasi yang sebagian atau seluruhnya salah, yang dipercaya dan disiarkan seolah-olah itu benar. Kita hanya perlu memikirkan masalah disinformasi yang sudah berlangsung lama dalam bentuk berita palsu,[iii] yang saat ini dapat menggunakan "deepfake", yaitu pembuatan dan penyebaran gambar yang tampak sangat masuk akal tetapi palsu (saya juga pernah menjadi objek dari deepfake ini), atau pesan audio yang menggunakan suara seseorang untuk mengatakan sesuatu yang tidak pernah dikatakan oleh orang tersebut. Teknologi simulasi di balik program-program ini dapat berguna dalam bidang-bidang tertentu, tetapi menjadi menyimpang ketika ia mendistorsi hubungan kita dengan orang lain dan dengan realitas.

Dimulai dengan gelombang pertama kecerdasan artifisial, yaitu media sosial, kita telah mengalami ambivalensinya: kemungkinannya tetapi juga risiko dan patologi yang terkait. Tingkat kedua dari kecerdasan artifisial generatif tidak diragukan lagi merupakan lompatan kualitatif. Oleh karena itu, penting untuk memahami, menghargai, dan mengatur instrumen yang, di tangan yang salah, dapat menyebabkan skenario yang mengganggu. Seperti setiap produk kecerdasan dan keterampilan manusia lainnya, algoritma tidaklah netral. Untuk alasan ini, ada kebutuhan untuk bertindak secara preventif, dengan mengusulkan model regulasi etis, untuk mencegah efek berbahaya, diskriminatif, dan tidak adil secara sosial dari penggunaan sistem kecerdasan artifisial dan untuk memerangi penyalahgunaannya dengan tujuan mengurangi pluralisme, mempolarisasi opini publik, atau menciptakan bentuk-bentuk pemikiran kelompok. Saya sekali lagi menghimbau komunitas internasional "untuk bekerja sama dalam rangka mengadopsi perjanjian internasional yang mengikat yang mengatur pengembangan dan penggunaan kecerdasan artifisial dalam berbagai bentuk".[iv] Pada saat yang sama, seperti halnya dalam setiap konteks manusia, regulasi saja tidak cukup.

 

Bertumbuh dalam Kemanusiaan

Kita semua dipanggil untuk bertumbuh bersama, dalam kemanusiaan dan sebagai manusia. Kita ditantang untuk membuat lompatan kualitatif untuk menjadi masyarakat yang kompleks, multietnis, pluralistik, multireligius, dan multikultural. Kita dipanggil untuk merefleksikan dengan hati-hati perkembangan teoritis dan penggunaan praktis dari instrumen-instrumen komunikasi dan pengetahuan yang baru ini. Kemungkinan-kemungkinan besar mereka untuk kebaikan disertai dengan risiko mengubah segala sesuatu menjadi perhitungan abstrak yang mereduksi individu menjadi data, pemikiran menjadi proses mekanis, pengalaman menjadi kasus-kasus yang terisolasi, kebaikan menjadi keuntungan, dan, di atas semua itu, penyangkalan terhadap keunikan setiap individu dan ceritanya. Realitas yang konkret larut dalam kesibukan data statistik.

Revolusi digital dapat memberikan kita kebebasan yang lebih besar, tetapi tidak jika hal itu memenjarakan kita dalam model yang saat ini disebut sebagai "ruang gema". Dalam kasus seperti itu, alih-alih meningkatkan pluralisme informasi, kita justru berisiko terjebak dalam lumpur kebingungan, menjadi mangsa kepentingan pasar atau penguasa. Tidak dapat diterima bahwa penggunaan kecerdasan artifisial harus mengarah pada pemikiran kelompok, pengumpulan data yang tidak terverifikasi, dan pengabaian tugas editorial secara kolektif. Representasi realitas dalam "data besar", betapapun bermanfaatnya untuk pengoperasian mesin, pada akhirnya menyebabkan hilangnya kebenaran yang substansial dari berbagai hal, menghalangi komunikasi antarpribadi dan mengancam kemanusiaan kita. Informasi tidak dapat dipisahkan dari hubungan yang hidup. Hal ini melibatkan tubuh dan pencelupan dalam dunia nyata; tidak hanya menghubungkan data, tetapi juga pengalaman manusia; membutuhkan kepekaan terhadap wajah dan ekspresi wajah, kasih sayang, dan berbagi.

Di sini saya berpikir tentang pemberitaan perang dan "perang paralel" yang dilancarkan melalui kampanye disinformasi. Saya juga berpikir tentang semua reporter yang terluka atau terbunuh dalam menjalankan tugas agar kita dapat melihat apa yang telah mereka lihat. Karena hanya dengan kontak langsung dengan penderitaan anak-anak, perempuan dan laki-laki, kita dapat memahami absurditas perang.

Penggunaan kecerdasan artifisial dapat memberikan kontribusi positif pada sektor komunikasi, asalkan tidak menghilangkan peran jurnalisme di lapangan, melainkan mendukungnya. Asalkan hal ini juga menghargai profesionalisme komunikasi, membuat setiap komunikator lebih sadar akan tanggung jawabnya, dan memungkinkan semua orang untuk menjadi, sebagaimana mestinya, partisipan yang cerdas dalam pekerjaan komunikasi.


Pertanyaan untuk Hari Ini dan Nanti

Dalam hal ini, sejumlah pertanyaan muncul secara alamiah. Bagaimana kita menjaga profesionalisme dan martabat para pekerja di bidang informasi dan komunikasi, bersama dengan para pengguna di seluruh dunia? Bagaimana kita memastikan interoperabilitas platform? Bagaimana kita memungkinkan bisnis yang mengembangkan platform digital untuk menerima tanggung jawab mereka terkait konten dan iklan dengan cara yang sama seperti editor media komunikasi tradisional? Bagaimana kita membuat kriteria yang lebih transparan yang memandu pengoperasian algoritma untuk proses pengindeksan dan penghapusan indeks, dan untuk mesin pencari yang mampu merayakan atau membatalkan individu dan opini, sejarah dan budaya? Bagaimana kita menjamin transparansi pemrosesan informasi? Bagaimana kita mengidentifikasi keaslian tulisan dan penelusuran sumber-sumber yang tersembunyi di balik perisai anonimitas? Bagaimana kita memperjelas apakah sebuah gambar atau video menggambarkan sebuah peristiwa atau mensimulasikannya? Bagaimana kita mencegah sumber-sumber direduksi menjadi satu sumber saja, sehingga mendorong pendekatan tunggal, yang dikembangkan berdasarkan algoritma? Bagaimana kita mempromosikan lingkungan yang cocok untuk melestarikan pluralisme dan menggambarkan kompleksitas realitas? Bagaimana kita dapat membuat teknologi yang berkelanjutan yang begitu kuat, mahal, dan menghabiskan banyak energi? Dan bagaimana kita dapat membuatnya dapat diakses oleh negara-negara berkembang?

Jawaban yang kita berikan untuk pertanyaan-pertanyaan ini dan pertanyaan lainnya akan menentukan apakah kecerdasan artifisial pada akhirnya akan menciptakan kasta-kasta baru berdasarkan akses terhadap informasi dan dengan demikian memunculkan bentuk-bentuk eksploitasi dan ketidaksetaraan yang baru. Atau, apakah kecerdasan artifisial akan mengarah pada kesetaraan yang lebih besar dengan mempromosikan informasi yang benar dan kesadaran yang lebih besar akan perubahan zaman yang kita alami dengan memungkinkan untuk mengakui banyak kebutuhan individu dan masyarakat dalam jaringan informasi yang terstruktur dengan baik dan majemuk. Jika, di satu sisi, kita dapat melihat sekilas bayangan bentuk perbudakan baru, di sisi lain, kita juga dapat membayangkan sarana kebebasan yang lebih besar; baik kemungkinan bahwa segelintir orang dapat mengkondisikan pemikiran orang lain, atau bahwa semua orang dapat berpartisipasi dalam pengembangan pemikiran.

Jawaban yang kita berikan untuk pertanyaan-pertanyaan ini tidak ditentukan sebelumnya; itu tergantung pada kita. Tergantung pada kita untuk memutuskan apakah kita akan menjadi makanan bagi algoritme atau akan menyehatkan hati kita dengan kebebasan yang tanpanya kita tidak dapat bertumbuh dalam kebijaksanaan. Kebijaksanaan seperti itu menjadi dewasa dengan menggunakan waktu dengan bijaksana dan merangkul kerentanan kita. Kebijaksanaan ini tumbuh dalam perjanjian antar generasi, antara mereka yang mengingat masa lalu dan yang menatap masa depan. Hanya dengan bersama-sama kita dapat meningkatkan kapasitas kita untuk membedakan dan waspada serta melihat segala sesuatu dalam terang penggenapannya. Agar kemanusiaan kita tidak kehilangan arah, marilah kita mencari kebijaksanaan yang telah ada sebelum segala sesuatu (bdk. Sir 1:4): kebijaksanaan ini akan membantu kita untuk menempatkan sistem kecerdasan artifisial dalam melayani komunikasi yang sepenuhnya manusiawi.

 

Roma, St. Yohanes Lateran, 24 Januari 2024

Paus Fransiskus



[i] Surat dari Danau Como

[ii] Pesan Hari Komunikasi Sosial Sedunia 2024 melanjutkan Pesan sebelumnya yang ditujukan untuk menjumpai orang-orang di mana dan bagaimana mereka berada (2021), mendengar dengan telinga hati (2022) dan berbicara dengan hati (2023)

[iii] "Kebenaran Akan Memerdekakan Kamu" (Yoh. 8:32). Berita Palsu dan Jurnalisme untuk Perdamaian, Pesan Hari Komunikasi Sosial Sedunia 2018

AGENDA
LINK TERKAIT