Agar kemanusiaan kita tidak kehilangan arah, marilah kita mencari kebijaksanaan yang telah ada sebelum segala sesuatu (bdk. Sir 1:4): kebijaksanaan ini akan membantu kita untuk menempatkan sistem kecerdasan artifisial dalam melayani komunikasi yang sepenuhnya manusiawi.
Para saudara dan saudari!
Perkembangan
sistem kecerdasan artifisial, yang menjadi pokok bahasan dalam Pesan Hari
Perdamaian Sedunia baru-baru ini, secara radikal mempengaruhi dunia informasi
dan komunikasi, dan melaluinya, dasar-dasar kehidupan tertentu dalam
masyarakat. Perubahan ini mempengaruhi semua orang, tidak hanya para pakar di
bidang-bidang tersebut. Penyebaran inovasi yang menakjubkan, yang cara kerja
dan potensinya berada di luar kemampuan sebagian besar dari kita untuk memahami
dan menghargai, telah terbukti menarik sekaligus membingungkan. Hal ini tak
pelak menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang lebih mendalam tentang sifat
manusia, keunikan kita, dan masa depan spesies homo sapiens di era
kecerdasan artifisial. Bagaimana kita dapat tetap menjadi manusia seutuhnya dan
memandu transformasi budaya ini untuk tujuan yang baik?
Dimulai dari Hati
Pertama-tama,
kita perlu mengesampingkan prediksi bencana dan efeknya yang mematikan. Seabad
yang lalu, Romano Guardini merefleksikan teknologi dan kemanusiaan. Guardini
mendesak kita untuk tidak menolak "yang baru" dalam upaya untuk
"melestarikan dunia yang indah yang dikutuk untuk menghilang". Pada
saat yang sama, ia secara profetis memperingatkan bahwa "kita
terus-menerus berada dalam proses menjadi. Kita harus masuk ke dalam proses
ini, masing-masing dengan caranya sendiri, dengan keterbukaan tetapi juga
dengan kepekaan terhadap segala sesuatu yang merusak dan tidak manusiawi di
dalamnya". Dan dia menyimpulkan: "Ini hanyalah masalah teknis, ilmiah
dan politis, tetapi tidak dapat diselesaikan kecuali dengan memulai dari
kemanusiaan kita. Sebuah jenis manusia baru harus terbentuk, yang diberkahi
dengan spiritualitas yang lebih dalam dan kebebasan serta interioritas yang
baru".[i]
Pada
saat ini dalam sejarah, yang berisiko menjadi kaya akan teknologi dan miskin
akan kemanusiaan, refleksi kita harus dimulai dari dalam hati manusia.[ii] Hanya dengan
mengadopsi jalan spiritual dalam memandang realitas, hanya dengan memulihkan
kebijaksanaan hati, kita dapat menghadapi dan menafsirkan kebaruan zaman dan
menemukan kembali jalan menuju komunikasi yang manusiawi. Dalam Alkitab, hati
dipandang sebagai tempat kebebasan dan tempat pengambilan keputusan. Hati
melambangkan integritas dan kesatuan, tetapi juga melibatkan emosi, keinginan,
dan impian kita; lebih dari pada itu, hati adalah tempat pertemuan kita dengan
Tuhan. Kebijaksanaan hati, dengan demikian, adalah kebajikan yang memungkinkan
kita untuk mengintegrasikan keseluruhan dan bagian-bagiannya, keputusan kita
dan konsekuensinya, kemuliaan dan kerentanan kita, masa lalu dan masa depan
kita, individualitas dan keanggotaan kita dalam komunitas yang lebih besar.
Kebijaksanaan
hati membiarkan dirinya ditemukan oleh mereka yang mencarinya dan dilihat oleh
mereka yang mencintainya; kebijaksanaan hati mengantisipasi mereka yang
menginginkannya dan mencari mereka yang layak menerimanya (bdk. Keb. 6:12-16).
Ia menyertai mereka yang mau menerima nasihat (bdk. Ams. 13:10), mereka yang
dikaruniai hati yang taat dan yang mau mendengar (bdk. 1 Raj. 3:9). Karunia Roh
Kuduslah, yang memampukan kita untuk melihat segala sesuatu dengan mata Tuhan,
untuk melihat hubungan, situasi, peristiwa, dan menyingkap makna yang
sebenarnya. Tanpa kebijaksanaan ini, hidup menjadi hambar, karena kebijaksanaan
- yang berasal dari bahasa Latin sapere, yang berhubungan dengan kata
benda sapor - yang memberikan "kenikmatan" [rasa nikmat] pada
kehidupan.
Peluang dan Bahaya
Kebijaksanaan
seperti itu tidak dapat ditemukan dalam mesin. Meskipun istilah
"kecerdasan artifisial" sekarang ini telah menggantikan istilah yang
lebih tepat, "pembelajaran mesin", yang digunakan dalam literatur
ilmiah, penggunaan kata "kecerdasan" dapat menyesatkan. Tidak
diragukan lagi, mesin memiliki kapasitas yang jauh lebih besar daripada manusia
dalam menyimpan dan menghubungkan data, tetapi hanya manusia yang mampu
memahami data tersebut. Ini bukan hanya masalah membuat mesin tampak lebih
manusiawi, tetapi membangunkan manusia dari tidur yang disebabkan oleh ilusi
kemahakuasaan, berdasarkan keyakinan bahwa kita adalah subjek yang sepenuhnya
otonom dan mengacu pada diri sendiri, terlepas dari semua ikatan sosial dan
lupa akan status kita sebagai ciptaan.
Manusia
selalu menyadari bahwa mereka tidak mandiri dan telah berusaha untuk mengatasi
kerentanan mereka dengan menggunakan segala cara yang memungkinkan. Dari benda-benda
(artefak) prasejarah yang paling awal, yang digunakan sebagai alat bantu kerja
tangan; dan kemudian muncullah media, yang digunakan sebagai menyebarkan kata-kata
yang diucapkan; kita sekarang telah mampu menciptakan mesin yang sangat canggih
yang berfungsi sebagai pendukung pemikiran. Akan tetapi, setiap alat ini dapat
disalahgunakan oleh godaan primordial untuk menjadi seperti Allah tanpa
Allah (bdk. Kej. 3), yaitu, keinginan untuk mendapatkan sesuatu dengan usahanya
sendiri padahal sudah diterimanya secara cuma-cuma sebagai hadiah dari Allah
agar bisa dinikmati bersama dengan orang lain.
Tergantung
pada kecenderungan hati, segala sesuatu yang berada dalam jangkauan kita dapat
menjadi sebuah peluang atau ancaman. Tubuh kita, yang diciptakan untuk
komunikasi dan persekutuan, dapat menjadi alat untuk menyerang yang lain.
Demikian juga, setiap perpanjangan teknis dari kemanusiaan kita dapat menjadi
sarana pelayanan yang penuh kasih atau dominasi yang penuh permusuhan. Sistem
kecerdasan artifisial dapat membantu mengatasi ketidaktahuan dan memfasilitasi
pertukaran informasi antara masyarakat dan generasi yang berbeda.
Sebagai
contoh, mereka dapat membuat warisan pengetahuan tertulis yang sangat banyak
dari masa lampau sehingga dapat diakses dan dimengerti atau memungkinkan
komunikasi antara individu yang tidak memiliki bahasa yang sama. Namun, pada
saat yang sama, mereka dapat menjadi sumber "polusi pikiran",
distorsi realitas oleh narasi yang sebagian atau seluruhnya salah, yang
dipercaya dan disiarkan seolah-olah itu benar. Kita hanya perlu memikirkan
masalah disinformasi yang sudah berlangsung lama dalam bentuk berita palsu,[iii] yang saat ini
dapat menggunakan "deepfake", yaitu pembuatan dan penyebaran
gambar yang tampak sangat masuk akal tetapi palsu (saya juga pernah menjadi
objek dari deepfake ini), atau pesan audio yang menggunakan suara
seseorang untuk mengatakan sesuatu yang tidak pernah dikatakan oleh orang
tersebut. Teknologi simulasi di balik program-program ini dapat berguna dalam
bidang-bidang tertentu, tetapi menjadi menyimpang ketika ia mendistorsi
hubungan kita dengan orang lain dan dengan realitas.
Dimulai
dengan gelombang pertama kecerdasan artifisial, yaitu media sosial, kita telah
mengalami ambivalensinya: kemungkinannya tetapi juga risiko dan patologi yang
terkait. Tingkat kedua dari kecerdasan artifisial generatif tidak diragukan
lagi merupakan lompatan kualitatif. Oleh karena itu, penting untuk memahami,
menghargai, dan mengatur instrumen yang, di tangan yang salah, dapat
menyebabkan skenario yang mengganggu. Seperti setiap produk kecerdasan dan
keterampilan manusia lainnya, algoritma tidaklah netral. Untuk alasan ini, ada
kebutuhan untuk bertindak secara preventif, dengan mengusulkan model regulasi
etis, untuk mencegah efek berbahaya, diskriminatif, dan tidak adil secara
sosial dari penggunaan sistem kecerdasan artifisial dan untuk memerangi
penyalahgunaannya dengan tujuan mengurangi pluralisme, mempolarisasi opini
publik, atau menciptakan bentuk-bentuk pemikiran kelompok. Saya sekali lagi
menghimbau komunitas internasional "untuk bekerja sama dalam rangka
mengadopsi perjanjian internasional yang mengikat yang mengatur pengembangan
dan penggunaan kecerdasan artifisial dalam berbagai bentuk".[iv] Pada saat yang
sama, seperti halnya dalam setiap konteks manusia, regulasi saja tidak cukup.
Bertumbuh dalam Kemanusiaan
Kita
semua dipanggil untuk bertumbuh bersama, dalam kemanusiaan dan sebagai manusia.
Kita ditantang untuk membuat lompatan kualitatif untuk menjadi masyarakat yang
kompleks, multietnis, pluralistik, multireligius, dan multikultural. Kita
dipanggil untuk merefleksikan dengan hati-hati perkembangan teoritis dan
penggunaan praktis dari instrumen-instrumen komunikasi dan pengetahuan yang
baru ini. Kemungkinan-kemungkinan besar mereka untuk kebaikan disertai dengan
risiko mengubah segala sesuatu menjadi perhitungan abstrak yang mereduksi
individu menjadi data, pemikiran menjadi proses mekanis, pengalaman menjadi
kasus-kasus yang terisolasi, kebaikan menjadi keuntungan, dan, di atas semua
itu, penyangkalan terhadap keunikan setiap individu dan ceritanya. Realitas
yang konkret larut dalam kesibukan data statistik.
Revolusi
digital dapat memberikan kita kebebasan yang lebih besar, tetapi tidak jika hal
itu memenjarakan kita dalam model yang saat ini disebut sebagai "ruang
gema". Dalam kasus seperti itu, alih-alih meningkatkan pluralisme
informasi, kita justru berisiko terjebak dalam lumpur kebingungan, menjadi
mangsa kepentingan pasar atau penguasa. Tidak dapat diterima bahwa penggunaan
kecerdasan artifisial harus mengarah pada pemikiran kelompok, pengumpulan data
yang tidak terverifikasi, dan pengabaian tugas editorial secara kolektif.
Representasi realitas dalam "data besar", betapapun bermanfaatnya
untuk pengoperasian mesin, pada akhirnya menyebabkan hilangnya kebenaran yang
substansial dari berbagai hal, menghalangi komunikasi antarpribadi dan
mengancam kemanusiaan kita. Informasi tidak dapat dipisahkan dari hubungan yang
hidup. Hal ini melibatkan tubuh dan pencelupan dalam dunia nyata; tidak hanya
menghubungkan data, tetapi juga pengalaman manusia; membutuhkan kepekaan
terhadap wajah dan ekspresi wajah, kasih sayang, dan berbagi.
Di
sini saya berpikir tentang pemberitaan perang dan "perang paralel"
yang dilancarkan melalui kampanye disinformasi. Saya juga berpikir tentang
semua reporter yang terluka atau terbunuh dalam menjalankan tugas agar kita
dapat melihat apa yang telah mereka lihat. Karena hanya dengan kontak langsung
dengan penderitaan anak-anak, perempuan dan laki-laki, kita dapat memahami
absurditas perang.
Penggunaan kecerdasan artifisial dapat memberikan kontribusi positif pada sektor komunikasi, asalkan tidak menghilangkan peran jurnalisme di lapangan, melainkan mendukungnya. Asalkan hal ini juga menghargai profesionalisme komunikasi, membuat setiap komunikator lebih sadar akan tanggung jawabnya, dan memungkinkan semua orang untuk menjadi, sebagaimana mestinya, partisipan yang cerdas dalam pekerjaan komunikasi.
Pertanyaan untuk Hari Ini dan Nanti
Dalam
hal ini, sejumlah pertanyaan muncul secara alamiah. Bagaimana kita menjaga
profesionalisme dan martabat para pekerja di bidang informasi dan komunikasi,
bersama dengan para pengguna di seluruh dunia? Bagaimana kita memastikan interoperabilitas
platform? Bagaimana kita memungkinkan bisnis yang mengembangkan platform
digital untuk menerima tanggung jawab mereka terkait konten dan iklan dengan
cara yang sama seperti editor media komunikasi tradisional? Bagaimana kita
membuat kriteria yang lebih transparan yang memandu pengoperasian algoritma
untuk proses pengindeksan dan penghapusan indeks, dan untuk mesin pencari yang
mampu merayakan atau membatalkan individu dan opini, sejarah dan budaya?
Bagaimana kita menjamin transparansi pemrosesan informasi? Bagaimana kita
mengidentifikasi keaslian tulisan dan penelusuran sumber-sumber yang
tersembunyi di balik perisai anonimitas? Bagaimana kita memperjelas apakah sebuah
gambar atau video menggambarkan sebuah peristiwa atau mensimulasikannya?
Bagaimana kita mencegah sumber-sumber direduksi menjadi satu sumber saja,
sehingga mendorong pendekatan tunggal, yang dikembangkan berdasarkan algoritma?
Bagaimana kita mempromosikan lingkungan yang cocok untuk melestarikan
pluralisme dan menggambarkan kompleksitas realitas? Bagaimana kita dapat
membuat teknologi yang berkelanjutan yang begitu kuat, mahal, dan menghabiskan
banyak energi? Dan bagaimana kita dapat membuatnya dapat diakses oleh
negara-negara berkembang?
Jawaban
yang kita berikan untuk pertanyaan-pertanyaan ini dan pertanyaan lainnya akan
menentukan apakah kecerdasan artifisial pada akhirnya akan menciptakan
kasta-kasta baru berdasarkan akses terhadap informasi dan dengan demikian
memunculkan bentuk-bentuk eksploitasi dan ketidaksetaraan yang baru. Atau,
apakah kecerdasan artifisial akan mengarah pada kesetaraan yang lebih besar
dengan mempromosikan informasi yang benar dan kesadaran yang lebih besar akan
perubahan zaman yang kita alami dengan memungkinkan untuk mengakui banyak
kebutuhan individu dan masyarakat dalam jaringan informasi yang terstruktur
dengan baik dan majemuk. Jika, di satu sisi, kita dapat melihat sekilas
bayangan bentuk perbudakan baru, di sisi lain, kita juga dapat membayangkan
sarana kebebasan yang lebih besar; baik kemungkinan bahwa segelintir orang
dapat mengkondisikan pemikiran orang lain, atau bahwa semua orang dapat
berpartisipasi dalam pengembangan pemikiran.
Jawaban
yang kita berikan untuk pertanyaan-pertanyaan ini tidak ditentukan sebelumnya;
itu tergantung pada kita. Tergantung pada kita untuk memutuskan apakah kita
akan menjadi makanan bagi algoritme atau akan menyehatkan hati kita dengan
kebebasan yang tanpanya kita tidak dapat bertumbuh dalam kebijaksanaan.
Kebijaksanaan seperti itu menjadi dewasa dengan menggunakan waktu dengan
bijaksana dan merangkul kerentanan kita. Kebijaksanaan ini tumbuh dalam
perjanjian antar generasi, antara mereka yang mengingat masa lalu dan yang
menatap masa depan. Hanya dengan bersama-sama kita dapat meningkatkan kapasitas
kita untuk membedakan dan waspada serta melihat segala sesuatu dalam terang
penggenapannya. Agar kemanusiaan kita tidak kehilangan arah, marilah kita
mencari kebijaksanaan yang telah ada sebelum segala sesuatu (bdk. Sir 1:4): kebijaksanaan
ini akan membantu kita untuk menempatkan sistem kecerdasan artifisial dalam
melayani komunikasi yang sepenuhnya manusiawi.
Roma, St. Yohanes Lateran, 24 Januari 2024
Paus
Fransiskus
[i] Surat dari Danau Como
[ii] Pesan Hari Komunikasi
Sosial Sedunia 2024 melanjutkan Pesan sebelumnya yang ditujukan untuk menjumpai
orang-orang di mana dan bagaimana mereka berada (2021), mendengar dengan
telinga hati (2022) dan berbicara dengan hati (2023)
[iii] "Kebenaran Akan
Memerdekakan Kamu" (Yoh. 8:32). Berita Palsu dan Jurnalisme untuk
Perdamaian, Pesan Hari Komunikasi Sosial Sedunia 2018
[iv] Pesan Hari Perdamaian Sedunia, 1 Januari 2024, 8.
Diterjemahkan dari dari versi bahasa Inggris: LVIII World Communications Day, 2024 - Artificial Intelligence and the Wisdom of the Heart: Towards a Fully Human Communication | Francis (vatican.va) dengan pembanding versi bahasa Spanyol: LVIII Jornada Mundial de las Comunicaciones Sociales, 2024 - Inteligencia artificial y sabiduría del corazón: para una comunicación plenamente humana | Francisco (vatican.va)