Perkawinan yang dirayakan dengan dispensasi dari halangan “disparitas cultus” adalah perkawinan kanonik yang sah, karena dirayakan dalam bentuk kanonik dan dengan dispensasi, tetapi bukan sakramen dan karena itu tidak dapat memiliki rahmat sakramental.
Beberapa waktu lalu, saya diajukan sebuah pertanyaan demikian: apakah perkawinan antara orang yang sudah dibaptis dan yang belum dibaptis (tidak dibaptis) yang dirayakan di Gereja memiliki nilai sakramen?
Kita
sering mendengar orang mengatakan bahwa seseorang telah menikah di Gereja atau
menikah secara Sipil. Kita harus segera memperjelas bahwa perkawinan yang
diakui oleh Gereja Katolik untuk umatnya hanya yang dirayakan secara
gerejawi (kanonik), yang mencakup didalamnya perkawinan sakramental dan
perkawinan non-sakramental (hanya satu pihak, yaitu orang Katolik, yang
dibaptis).
Perkawinan
adalah sakramen jika dirayakan antara dua orang Katolik, tetapi juga jika hanya
satu pihak yang beragama Katolik dan pihak lainnya dibaptis secara sah dan
merupakan bagian dari Gereja atau komunitas gerejawi yang tidak memiliki
persekutuan penuh dengan Gereja Katolik. Dalam kasus kedua ini, kita berbicara
tentang sakramen perkawinan “campur”, yang membutuhkan izin dari Ordinaris
setempat untuk perayaannya yang sah (bdk. kanon 1124; 1125).
Kemudian
ada pernikahan antara dua orang, yang satu adalah seorang Katolik dan yang
lainnya belum dibaptis (tidak dibaptis). Inilah yang menjadi pertanyaan dan
persoalan yang perlu kita jawab bersama.
Perkawinan tipe ini dalam Gereja menjadi perkawinan non-sakramen.
Disebut perkawinan non-sakramen karena pada saat perayaan kedua mempelai
menemukan diri mereka dalam situasi “disparitas cultus”, yang
dalam istilah yang disederhanakan berarti pernikahan seorang Katolik - atau
seseorang yang telah dibaptis dalam komunitas Kristen non-Katolik dan kemudian
diterima ke dalam Gereja Katolik - dengan orang yang belum dibaptis. Dalam hal
ini terdapat 'disparitas', yaitu, sebagai sebuah partisipasi yang
berbeda dalam misteri penyelamatan Allah yang bekerja di dalam diri semua
manusia sejak awal, dibandingkan dengan misteri Penebusan yang dikerjakan oleh
Tuhan.
Gereja
selalu mengakui perkawinan sebagai sebuah institusi alamiah yang termasuk dalam
tatanan penciptaan sejauh isi dan tujuan perkawinan itu menanggapi
kecenderungan alamiah yang diberikan oleh ciptaan kepada pria dan wanita.
Sebaliknya, sakramen perkawinan dalam Perjanjian Baru menyangkut manusia bukan
hanya sebagai makhluk ciptaan, tetapi juga sebagai orang yang dibaptis yang
ditebus oleh Allah di dalam Kristus. Itulah sebabnya dikatakan bahwa di antara
mereka yang dibaptis, perjanjian alamiah “telah diangkat oleh Kristus Tuhan ke
martabat sebuah sakramen” (Kan.1055 §1).
Konstitusi
Pastoral Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes art. 48 dan Kan. 1055 §1
Kitab Hukum Kanonik mendefinisikan perkawinan sebagai 'foedus',
'perjanjian', sebagai tanda perjanjian antara Allah dan umat-Nya, Israel, yang
bagi mereka yang telah dibaptis di dalam Kristus, merupakan sebuah sakramen
khusus dari Perjanjian Baru. Santo Yohanes Paulus II menulis bahwa perkawinan
antara orang-orang yang dibaptis memiliki kekhususan “sebagai sakramen dari
sebuah realitas yang sudah ada dalam ekonomi ciptaan, sebagai perjanjian
suami-istri yang sama yang dilembagakan oleh Sang Pencipta pada ‘permulaan’” (Familiaris
Consortio, 68 c).
Oleh
karena itu, realitas suami-istri Kristiani sepenuhnya terserap dalam tatanan
Penebusan dan keselamatan, yang mencakup aspek yuridis dari persatuan
perkawinan, tetapi bahkan sebelum itu, hubungan interpersonal dua individu
konkret yang melalui “perjanjian” juga mengekspresikan aspek dinamis dari
Perjanjian Baru.
Ketidakterpisahan
antara perjanjian dan sakramen mewakili persatuan antara tatanan penciptaan dan
tatanan Penebusan, di mana kesepakatan dari pihak-pihak yang membuat perjanjian
adalah konstitutif dari perkawinan dan juga tanda sakramental dari perkawinan
sakramental. Konsekuensi pertama dari identitas antara perjanjian dan sakramen,
adalah bahwa “tidak dapat ada kontrak perkawinan yang sah antara orang yang
dibaptis yang bukan merupakan sakramen” (Kan.1055 §2). “Foedus”,
perjanjian, pada dasarnya bersifat bilateral dan konsep ini telah membantu kita
untuk memahami bahwa dalam sakramen perkawinan, perjanjian tidak bisa ‘ganjil’,
karena seperti yang diajarkan oleh para Bapa Gereja, ‘matrimonium claudicare
non potest’, perkawinan tidak bisa menggugurkan. Perkawinan menjadi sebuah
sakramen jika kedua pasangan mampu melakukan ibadah yang sempurna melalui
karakter pembaptisan, melalui partisipasi bersama dalam imamat Kristus (bdk.
kan. 204 §1).
Sakramen
perkawinan, seperti perkawinan itu sendiri, secara numerik adalah satu dan
hanya satu jika kedua pasangan dibaptis. Oleh karena itu, itu tidak dapat
menjadi sebuah sakramen bagi orang yang dibaptis dan pada saat yang sama hanya
sebuah kontrak bagi orang yang belum dibaptis. Selain itu, orang yang belum
dibaptis tidak dapat menjadi seorang pemangku sakramen bagi orang yang telah
dibaptis. Perkawinan untuk menjadi sakramen membutuhkan niat dan pelayanan dari
kedua belah pihak yang menjadi pelayan sakramen. Sakramen perkawinan adalah
sebuah kontrak yang utuh dan sempurna yang tidak diberikan hanya kepada salah
satu pasangan.
Perkawinan
yang dirayakan dengan dispensasi dari halangan “disparitas cultus”
adalah perkawinan kanonik yang sah, karena dirayakan dalam bentuk kanonik dan
dengan dispensasi, tetapi bukan sakramen dan karena itu tidak dapat memiliki
rahmat sakramental. Namun, kita tidak boleh meremehkan fakta bahwa Tuhan
dalam bagian yang dibaptis dapat menggantikan ketiadaan rahmat suami-istri
dengan rahmat pembaptisan dan rahmat yang ada saat ini. Selain itu, umat
beriman dapat mengambil manfaat sebagai sumber rahmat dari seluruh liturgi
(lih. kan. 835 §4; 839 §1).
Pikirkanlah
perkawinan yang ‘ganjil’ antara ibu dari St. Agustinus, Sta. Monica, dengan
seorang kafir bernama Patrisius. Perkawinan mereka bukanlah perkawinan
sakramental, rahmat suami-istri tidak dapat mengalir dari persatuan mereka.
Namun, ikatan alamiah mereka ditopang oleh rahmat baptis dan rahmat Monica
untuk menguduskan dirinya sendiri, mendukung suaminya di jalan pertobatan
menuju pembaptisan, memperhatikan pendidikan anak-anak mereka, dan mendorong
pertobatan Agustinus, terutama melalui doa, sedemikian rupa sehingga ia
berkata: 'Ibuku telah melahirkan aku dua kali, pertama kali dalam daging untuk
kehidupan fana ini, yang kedua kalinya dalam hati untuk kehidupan kekal'.
Doddy
Sasi, CMF