Akhir Sinode tentang Sinodalitas

Sinode tentang Sinodalitas dan Dokumen Akhir yang telah dihasilkan ini “menyentuh” langsung Buku II dari Kitab Hukum Kanonik (KHK) tentang Umat Allah. Oleh karena itu, bisa saja beberapa nomor kanon dari KHK Buku II dapat ‘diamandemen’ dalam waktu-waktu mendatang.

Akhir Sinode tentang Sinodalitas

Tapi yang menarik dari Sinode tentang Sinodalitas ini adalah keputusan Paus untuk tidak menerbitkan seruan, nasihat atau anjuran apostolik pasca-sinode. Keputusan Paus ini membuat orang bertanya soal  karakter magisterial dari Dokumen Akhir Sinode tentang Sinodalitas ini...

Dengan ditutupnya sesi kedua dan terakhir dari Sidang Umum Biasa ke-16 dari Sinode Para Uskup pada hari Minggu, 27 Oktober lalu, maka Sinode tentang Sinodalitas, yang telah dimulai sejak tahun 2021, dengan tahun pertama dilaksanakan di tingkat lokal dan kemudian, dalam dua tahun terakhir, di tingkat global, dengan resmi telah berakhir.

 

Arti Kata

Sejak abad-abad awal, kata "sinode" menunjuk pada pertemuan gerejawi yang diadakan di berbagai tingkatan (keuskupan, provinsi atau regional, patriarkat dan universal) yang dalam terang Sabda Allah dan Roh Kudus membahas masalah-masalah doktrinal, liturgis, kanonis dan pastoral. Term sinode berakar dari kata Yunani “sýnodos” (syn-hodos) diterjemahkan ke dalam bahasa Latin sebagai “sýnodus” atau “concilium”. Dengan masuknya istilah "concilio" justru memperkaya isi semantik dari kata "sinode". Dan istilah ini mengingatkan kita pada istilah Ibrani “qahal” yang berarti "berkumpul". Terjemahan kata Ibrani ini bergema dalam bahasa Yunani dalam kata “ecclesia” yang memiliki hubungan etimologis dengan kata kerja “kalein”, yang berarti “memanggil”. Singkat kata, pengalaman Sinode adalah pengalaman "berjalan bersama" (walk together, camminare insieme), perjalanan bersama yang dilakukan bersama oleh Umat Allah.

 

Sinode Para Uskup dalam Dokumen Gereja

Setelah melempar mata dan pikiran sejenak untuk melihat arti etimologis dari Sinode, kita lihat sepintas beberapa referensi normatif yang berbicara tentang Sinode Para Uskup. Tema tentang Sinode Para Uskup ini baru dalam KHK 1983. Tema ini menjadi bagian dari KHK 1983 karena didasarkan pada Motu Proprio Apostolica Sollicitudo dari Paus Paulus VI (15 September 1965). Motu proprio dari Paulus VI ini, terdiri dari 12 artikel, yang memberikan struktur yuridis awal, yang kemudian sebagian isinya dikutip oleh KHK 1983 dari Kan. 342-348. Satu bulan lebih setelah lahirnya Motu Proprio Apostolica Sollicitudo, Paus Paulus VI menerbitkan salah satu dokumen penting yakni Christus Dominus (28 Oktober 1965). Dokumen ini pada art. 5 berbicara secara khas tentang sinode para uskup: “Bishops chosen from various parts of the world, in ways and manners established or to be established by the Roman pontiff, render more effective assistance to the supreme pastor of the Church in a deliberative body which will be called by the proper name of Synod of Bishops. Since it shall be acting in the name of the entire Catholic episcopate, it will at the same time show that all the bishops in hierarchical communion partake of the solicitude for the universal Church”. Dan satu referensi normatif lain tentang Sinode Para Uskup adalah Ordo Sinodali (Ordo Synodi Episcoporum) yang hingga saat ini sudah 4 kali dibaharui dan yang terbaru diterbitkan pada 29 September 2006.

Tiba disini kita tentu bertanya: apa itu Sinode Para Uskup? Salah satu referensi yang bisa membantu kita adalah Kitab Hukum Kanonik (KHK) 1983. Dalam KHK dari Kanon 342-348, menampilkan arti, tujuan dan dinamika sinodali yang paling tidak membantu kita sedikit memahami tentang Sinode Para Uskup. Misalkan pada Kan. 342, memberikan defenisi tentang Sinode Para Uskup. Sinode para Uskup ialah “himpunan para Uskup (coetus episcoporum), yang dipilih dari pelbagai kawasan dunia yang pada waktu-waktu yang ditetapkan berkumpul untuk membina hubungan erat antara Paus dan para Uskup, dan untuk membantu Paus dengan nasihat-nasihat guna memelihara keutuhan dan perkembangan iman serta moral, guna menjaga dan meneguhkan disiplin gerejawi, dan juga mempertimbangan masalah-masalah yang menyangkut karya Gereja di dunia”. Sinode Para uskup adalah organisme permanen dalam Gereja yang bersifat “menasihati” dan “konsultatif”. Karena itu, laporan akhir dari Sinode nanti  tidak mengatakan apa yang harus dilakukan Paus.

Adapun tujuan dari Sinode Para Uskup bisa kita temukan pada art. 2 dari Motu Proprio Apostolica Sollicitudo, Paus Paulus VI, 15 September 1965. Ada tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang bersifat khusus. Tujuan umum dari Sinode Para Uskup meliputi: (a) untuk mempromosikan persatuan yang lebih dekat dan kerja sama yang erat antara Paus dan para uskup seluruh dunia; (b) untuk memastikan informasi yang akurat dan langsung yang berkaitan dengan hal-hal dan situasi yang ada dalam kehidupan internal Gereja dan pada jenis tindakan yang harus dijalankan di dunia dewasa ini; (c) untuk memfasilitasi kesepakatan, setidaknya mengenai hal-hal penting dari doktrin dan tentang tindakan yang harus diambil dalam kehidupan Gereja. Sedangkan tujuan khusus dan segera dari Sinode, antara lain: (a) untuk saling memberikan informasi yang berguna; (b) untuk mengungkapkan pendapat mereka tentang pertanyaan-pertanyaan yang muncul ketika sinode dipanggil.

Informasi penting lain yang bagus untuk diketahui bahwa sejak tahun 1974, Paus biasanya akan menerbitkan sebuah eksortasi/nasihat/anjuran Apostolik setelah Sinode. Dan bisa saja dalam nasihat/anjuran apostolik itu, Paus mengikuti usulan-usulan hasil Sinode atau bisa juga tidak. Hasil Sinode bukanlah sesuatu yang mengikat Paus tapi bisa dikatakan sebagai pedoman/panduan bagi Paus dalam pengambilan keputusan. Prinsip yang kembali untuk diingat adalah Sinode berhak mengajukan masalah-masalah, membahas dan memberi usulan atau harapan-harapan tapi tidak berhak untuk memutuskannya atau mengeluarkan dekret-dekret tentang Sinode (bdk. Kan. 343). Hanya Paus yang berhak untuk memutuskan dan mengesahkan keputusan-keputusan yang dihasilkan sinode.

 

Dokumen Akhir Memiliki Nilai Magisterial

Tapi yang menarik dari Sinode tentang Sinodalitas ini adalah keputusan Paus untuk tidak menerbitkan seruan, nasihat atau anjuran apostolik pasca-sinode. Keputusan Paus ini membuat orang bertanya soal  karakter magisterial dari Dokumen Akhir Sinode tentang Sinodalitas ini. Tapi bila kita membaca dokumen Konstitusi Apostolik Episcopalis Communio (15 September 2018) maka keputusan Paus untuk tidak menerbitkan sebuah dokumen baru selain Dokumen Akhir yang telah dihasilkan tetap memiliki karakter Magisterial. Bisa dikatakan bahwa Dokumen Akhir ini ikut serta dalam Magisteriumnya, bukan dengan nilai normatif, tetapi memberikan pedoman, orientasi dan panduan bagi Paus. Meskipun Dokumen Akhir ini sifatnya “tidak normatif”, itu tidak berarti bahwa Dokumen ini tidak mengikat Gereja-gereja tetapi menunjukkan arah yang harus diambil bersama dalam kemajemukan yang telah menjadi ciri Gereja Kristus sejak awal. Hal ini bisa terbaca di dalam Dokumen Akhir, di mana ditunjukkan, ada sebuah kecenderungan untuk tidak lagi berbicara tentang Gereja universal, yang sering dipahami sebagai sebuah perusahaan multinasional dengan berbagai kantor cabang, atau sebagai sebuah pusat komersial dengan berbagai cabang-cabang pinggiran. Bahasa yang baru diperlukan: sebenarnya ada sebuah persekutuan Gereja-gereja, yang bersaksi bahwa adalah mungkin untuk bersatu dalam doktrin, sebagai anggota-anggota dari satu tubuh di dalam Kristus. Oleh karena itu, Gereja-gereja lokal bukanlah 'tingkatan' tetapi hanya 'cara-cara yang berbeda dalam menjalani hubungan'. Nilai Magisterial dari Dokumen Akhir ini perlu dibaca dalam konsepsi eklesiologis seperti ini.

Lalu dalam perspektif Hukum Gereja, saya melihat bahwa Sinode tentang Sinodalitas dan Dokumen Akhir yang telah dihasilkan ini “menyentuh” langsung Buku II dari Kitab Hukum Kanonik (KHK) tentang Umat Allah. Oleh karena itu, bisa saja beberapa nomor kanon dari KHK Buku II dapat ‘diamandemen’ dalam waktu-waktu mendatang.

Akhirnya, saya menutup tulisan singkat ini dengan kata-kata dari Kardinal Mario Grech bahwa “Ada satu dokumen yang tidak tertulis, dan itu adalah pengalaman. Sebuah pengalaman yang luar biasa selama satu tahun terakhir ini. Buah pertama adalah metode sinodal yang sekaligus menjadi kunci untuk dapat mengarahkan topik-topik lainnya. Sekarang kita harus menjadi duta-duta buah ini. Kita tidak berkumpul bersama hanya untuk melihat struktur Gereja atau untuk melakukan pertarungan antar faksi, tapi untuk mengalami perjalanan bersama sebagai Umat Allah”.

 

Doddy Sasi, CMF

AGENDA
LINK TERKAIT