Sukacita Perjumpaan dalam Kitab Suci

Penelitian dalam dunia pariwisata dan perhotelan beberapa dekada terakhir menampilkan Asia, khususnya Asia Pasifik, sebagai benua yang paling ramah dalam menerima tamu atau menyambut orang-orang asing.

Keramahan di Zaman Doeloe yang Membawa Sukacita Keselamatan | Keramahan: kekhasan kita

Penelitian dalam dunia pariwisata dan perhotelan beberapa dekada terakhir menampilkan Asia, khususnya Asia Pasifik, sebagai benua yang paling ramah dalam menerima tamu atau menyambut orang-orang asing. Keramahan yang terpuji ini merupakan hasil pembentukan karakter dalam peradaban, tradisi religius, etika budaya dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya di Asia. Kebiasaan dan tradisi yang ramah secara automatis membentuk kepribadian orang-orang Asia berperilaku rendah hati, sopan, empati, tulus, perhatian, santun, hormat, murah hati, sederhana, setia, bersahabat dan rasa percaya kepada orang lain. Keramahan Asia beda dari keramahan barat. Disiplin dalam pelayanan mewarnai gaya barat. Sementara keramahan Asia cenderung mencari  middle path  antara disiplin pelayanan dan perlakuan manusiawi dalam bertutur sapa. Penelitian ini menunjukkan betapa tinggi nilai dan keramahan di Asia, teristimewa di Indonesia. Inilah kekhasan dan kebanggaan peradaban kita.

Pada masa kekristenan awal, keramahan dalam menerima tamu merupakan pintu masuk untuk menyambut kaum non kristiani  dalam komunitas para pengikut Kristus. Membuka pintu rumah dan pintu hati bagi para imigran, pengunjung, orang asing merupakan praktek dan kebiasaan utama dalam peradaban dan budaya kuno. Sejumlah perikop Perjanjian Baru yang bertemakan keramahan menampilkan Yesus Kristus sebagai tuan rumah yang menerima dan menawarkan kebahagiaan keselamatan kepada semua yang mendekati atau yang didekati-Nya. Yesus yang bangkit, tamu yang berubah menjadi tuan rumah, menjamu kedua murid yang kembali ke Emaus (Luk 24:28-31).

Yesus, yang adalah tamu, meminta kepada Zakheus si tuan rumah untuk menginap di rumanya, yang pada akhirnya Dia yang adalah tamu berubah menjadi tuan rumah yang menawarkan kegembiraan keselamatan kepada Zakheus (Luk 19:7-10). Yesus yang sebenarnya adalah tamu berubah menjadi guru dan tuan di rumah Marta dan Maria (Luk 10:38-42). Dalam perikop-perikop tersebut tampak perubahan status dan peran Yesus. Dia berubah menjadi tuan rumah yang menerima penghuni rumah sebagai saudara dan keluarga. Dia mendengarkan dan menerima semua orang dan menjadikan mereka murid-murid-Nya. Penerimaan dan tindakan mendengarkan tamu atau pengunjung adalah keramahan yang sejati yang membuka suatu komunikasi

Keramahan Abraham dalam menyambut tamu (Kej 18:1-10)

Menyadari kehadiran ketiga tamu yang mendekat, Abraham langsung berlari menyongsong mereka di pintu kemahnya, bersujud sampai ke tanah dan mengundang mereka mampir ke kemahnya (Kej 18:1-3). Ia membasuh kaki mereka, memberi tumpangan kepada mereka, dan menyuguhkan makan-minum kepada mereka sehingga mereka segar kembali untuk meneruskan perjalanan (ayat 4-5). Dalam mempersiapkan segala sesuatu untuk menjamu tamu, ia melibatkan istrinya Sara untuk membuat roti, dan seorang bujangnya (hambanya) untuk melakukan pemotongan ternak serta mengolahnya menjadi lauk pauk atau daging perjamuan bagi tamu-tamunya (ayat 6-7). Dia merelakan harta miliknya (tepung dan seekor lembu terbaik), melibatkan istri dan hambanya, serta meluangkan waktu dan tenaganya untuk menyambut ketiga tamu agung yang sempat mampir ke rumahnya. Seluruh diri dan miliknya direlakan dengan penuh sukacita demi menjamu tamu yang diundang masuk ke rumahnya. Sebuah contoh keramahan yang total dan sejati.

 Selain kegembiraannya dalam melayani dan menjamu tamunya, pada akhirnya sebelum tamu-tamu itu melanjutkan perjalanan, kepadanya dijanjikan sebuah kabar sukacita yang melebihi semua yang telah ia relakan kepada tamu-tamunya. Ia dijanjikan akan memperoleh anak atau keturunan lewat istrinya Sara. Sebuah perjanjian yang kelihatannya mustahil, tapi kemudian menjadi harapan akhir yang sangat menarik: “Sesungguhnya Aku akan kembali tahun depan mendapatkan engkau, pada waktu itulah Sara, isterimu, akan mempunyai seorang anak laki-laki” (ayat 10). Inilah sebuah kunjungan atau lawatan yang menggembirakan kedua belah pihak, baik bagi para pengunjung atau tamu maupun kepada tuan rumah atau yang menerima tamu. Sukacita terbesar justru dialami oleh Abraham dan keluarganya sebagai tuan rumah karena berkat yang diterima lebih besar daripada pengorbanan tenaga, waktu dan materi yang telah ia relakan untuk menjamu tamu-tamunya.

 Tamu-tamu Abraham memang tampaknya seperti tamu biasa. Namun, seperti tertera dalam kalimat pembuka perikop itu, tamu-tamu itu adalah penampakan diri Tuhan sendiri yang mengunjungi Abraham, umat-Nya (ayat 1). Tamu-tamu itu hadir sebagai Tuhan yang datang mengunjungi dan melawat umat-Nya. Dia mengetahui kebutuhan keluarga Abraham, dan hadir memenuhi kebutuhan tersebut: rahmat dan janji keturunan.

 Keramahan Maria dalam mengunjungi Elisabet (Luk 1:39-45)

Bila dalam perikop sebelumnya kita melihat bagaimana inisiatif keramahan tuan rumah dalam mengundang dan menjamu tamunya, dalam perikop Luk 1:39-45 sebaliknya kita melihat bagaimana inisiatif dan keramahan pengunjung atau tamu yang membawa sukacita kepada tuan rumah. Bunda Maria berinisiatif untuk mengunjungi Elisabet sanak keluarganya. Dia, dalam posisi mengandung, berangkat melewati sebuah perjalanan yang cukup jauh menuju pegunungan Yehuda. Ia masuk ke rumah Zakharia dan menyalami Elisabet sebagai tuan rumah yang juga dalam posisi mengandung (ayat 39-40). Sapaan dan salam sederhana yang disampaikan Maria menggembirakan keluarga Elisabet, terutama bayi yang berada di dalam kandungannya: “Dan ketika Elisabet mendengar salam Maria, melonjaklah anak yang di dalam rahimnya dan Elisabet pun penuh dengan Roh Kudus” (ayat 41). Kehadiran pengunjung menggembirakan orang yang dikunjungi.

Menyambut sukacita yang dibawakan sang tamu, Elisabet sebagai tuan rumah pun langsung secara spontan mengungkapkan keramahannya yang penuh sukacita dengan ungkapan-ungkapan berkat: “Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu. Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku? Sebab sesungguhnya, ketika salammu sampai kepada telingaku, anak yang di dalam rahimku melonjak kegirangan. Dan berbahagialah ia, yang telah percaya, sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan, akan terlaksana” (ayat 42-45). Ini adalah perjumpaan yang saling memberi sukacita. Sukacita hanya bisa dilipatgandakan dengan sukacita. Sukacita disambut dengan sukacita. Gaya resonansi dalam mewartakan sukacita sangat istimewah yakni menggetarkan sukacita hidup orang lain dengan getaran sukacita hidup sendiri.

Elisabet membalas salam sukacita Maria dengan kata-kata berkat. Berkat berarti menghendaki yang baik dan yang bahagia. Birhat  (bahasa Ibrani) yang berarti berkat diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani dengan kata  (kata-kata yang baik dan menyenangkan) atau dalam bahasa Latin dengan kata benedictione (kata-kata yang baik). Memberi berkat kepada orang lain berarti memujinya, mengungkapkan kata-kata baik yang menggembirakan atau menyemangati serta memberi hidup. Sebaliknya kata-kata buruk, gossip dan kritikan tanpa alasan adalah sebuah kutukan. Maria membawa berkat (salam) kepada keluarga Elisabet, dan Elisabet memberi berkat (pujian dan iman) kepada Maria yang mengunjunginya.

Yesus mengunjungi Marta dan Maria di rumah mereka (Luk 10:38-42)

Dalam perjalanan berkeliling sambil berbuat baik bersama murid-murid-Nya, Yesus sesekali mampir ke rumah sahabat-sahabat-Nya seperti ke rumah Marta dan Maria. Kedua saudari tersebut menerima Dia dalam rumah dengan penuh keramahan. Maria menemaninya di ruang tamu dan Marta bersibuk-sibuk mempersiapkan sejenis jamuan (makanan) di dapur (ayat 38-40). Posisi kedua saudari tersebut mencerminkan tradisi dan budaya timur (sampel Timur Tengah) mengenai bagaimana sebuah keluarga menyambut tamunya. Ada yang mendamping tamu dan ada yang sibuk mempersiapkan sesuatu ala kadarnya untuk menjamu tamu.

Menarik untuk dicermati bahwa keduanya adalah kaum wanita, yang menurut tradisi setempat yang sangat patriarkis seharusnya seorang laki-laki yang menemani tamu di ruang tamu dan kaum wanita sibuk mengurus di dapur. Hal ini bisa melangsirkan kedekatan Yesus dengan kedua saudari tersebut. Ada satu fenomen tekstual  yang lebih eksplisit menunjukkan kedekatan di antara mereka bertiga yakni confidence atau kepercayaan total dari Marta yang meminta kepada Yesus supaya saudarinya Maria membantunya di dapur. Marta sebagai tuan rumah meminta kepada Yesus yang adalah tamu supaya saudarinya Maria yang adalah tuan rumah bisa membantunya di dapur. Permintaan tersebut terasa begitu janggal dalam kepala dan hati seorang bertradisi timur yang sangat menghargai dan menjaga jarak antara tamu dan tuan rumah. Kelihatannya Yesus sudah dianggap bukan sebagai tamu lagi bagi keduanya. Bahkan Dia sudah dinobatkan secara tidak langsung sebagai tuan rumah dan sekaligus kepala rumah mereka.

Bagi sahabat-sahabat-Nya, Yesus tidak lagi dianggap tamu yang harus berjaga jarak dalam bertutur dan bergaul. Dia hadir sebagai tamu dan tuan rumah sekaligus. Kehadiran-Nya dalam rumah memberikan kebahagiaan, kepercayaan dan kekuatan bagi pribadi atau rumah yang dikunjungi. Bandingkan dengan kunjungan yang menyembuhkan di rumah ibu mertua Petrus, dan lain-lain. Hal tersebut juga bisa dilihat dalam perikop Zakheus berikut.

Inisiatif untuk berjumpa dimulai oleh Zakheus yang berhasrat dan berusaha untuk melihat Yesus walaupun tidak berhasil karena badannya pendek (ayat 1-3). Ia berlari mendahului orang banyak dan memanjat pohon ara untuk melihat Yesus yang lewat (ayat 4). Ketiga kata kerja yang digunakan untuk menggambarkan inisiatif Zakheus untuk melihat Yesus -<em>berusaha, berlari dan memanjat-</em> menunjukkan kekuatan niatnya untuk menjumpai Yesus. Dalam suasana pencarian Zakheus yang tak direncanakan, Yesus melihat ke atas dan memanggil Zakheus untuk turun karena Ia hendak menumpang di rumahnya (ayat 4-5). Sungguh, sebuah perjumpaan yang melampaui semua hasrat dan niat Zakheus yang hanya mau sekedar melihat Yesus lewat. Kerinduan untuk berjumpa terpenuhi.

Setelah melihat Zakheus, Yesus berinisiatif mengundang Zakheus supaya menerima-Nya di rumahnya. Hasrat Yesus untuk menumpang di rumahnya pun bukan sekedar persinggahan tetapi sebuah keharusan (<em>imperatif</em>): “Hari ini Aku harus menumpang di rumahmu” (ayat 5). Keharusan yang direncanakan Yesus tidak sebanding dengan harapan Zakheus yang sekedar melihat Yesus lewat. Sekecil apa pun hasrat manusia untuk bertemu dan mengundang Tuhan, Tuhan akan mengabulkannya melebihi yang diharapkan. Tuhan sangat murah hati, memberi lebih dari yang diharapkan manusia. Yesus wajib mengunjungi Zakheus untuk mewartakan sukacita keselamatan di rumahnya.

Atas keharusan kabar sukacita yang hendak Yesus berikan, Zakheus langsung turun dan dengan sukacita menerima Yesus di rumahnya (ayat 7). Zakheus mengungkapkan kebahagiaannya atas kunjungan Yesus dengan sebuah pemberian diri dan pemberian harta miliknya bagi orang-orang miskin (ayat 8). Sukacita yang dialaminya dibagikan kepada orang lain yang juga sangat mengharapkan sesuatu (orang miskin). Sukacitanya juga disambut dengan sebuah sukacita yang melampaui semuanya ketika Yesus mengatakan: “Hari ini telah terjadi keselamatan kepada rumah ini, karena orang inipun anak Abraham.  Sebab Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang.” (ayat 9-10). Zakheus mengalami kepenuhan sukacita yakni keselamatan.

Kunjungan Yesus membawa sukacita yang menyelamatkan. Tingkatan dan tahapan sukacita yang didapat Zakheus menanjak naik: bahagia jika bisa melihat Yesus lewat, bahagia karena Yesus mau menumpang di rumahnya, bahagia karena Yesus menyelamatkannya. Kunjungan yang membahagiakan dan menyelamatkan.

 Keramahan: pewartaan sukacita yang mengena dan menggembirakan

 

Keramahan adalah model dan sarana yang pas untuk mewartakan kabar sukacita kepada keluarga, orang-orang sakit dan orang-orang yang sudah usia lanjut (<em>sepuh</em>). Keramahan menjadi cara yang pas untuk menghadirkan Kristus sebagai Kabar Baik di tengah siapa saja, termasuk di tengah kaum non kristiani. Itu adalah kekhasan budaya kita sebagai orang Indonesia dan sebagai orang kristiani. 100% Indonesia dan 100% katolik. Hal itu sangat  mengena di hati orang-orang Indonesia dan menggembirakan hati mereka yang sangat membutuhkan seperti keluarga, orang-orang sakit dan orang-orang yang lanjut usia. Ada bersama mereka biar hanya sesaat sudah merupakan sukacita yang begitu besar. Kita bersukacita supaya yang lain juga turut bersukacita.***

AGENDA
LINK TERKAIT