Figur Seorang Ekonom Religius

Sikap saling percaya yang dibangun dalam relasi antara superior dan ekonom bukanlah sebuah kalkulasi matematis, di mana kemudian ada harapan akan adanya imbalan di balik sebuah karya pelayan yang dikerjakan.

Pada sesi bilik Hidup Bakti kali ini, kita akan membahas tentang figur seorang ekonom dalam Kitab Hukum Kanonik.

Figur Ekonom

Ekonom adalah seorang yang terpanggil (bukan saja dipilih/diangkat tetapi terpanggil, tugas sebagai ekonom adalah sebuah misi/ karya kerasulan) untuk mengelola dan mengatur harta benda dari kongregasi, provinsi ataupun komunitas lokal dibawah pengarahan seorang superior yang kompeten (Superior General, Superior Provinsial atau Superior Komunitas).

Dalam Kitab Hukum Kanonik figur seorang ekonom religius disebutkan dengan jelas pada kan.636:  1 Dalam setiap tarekat demikian pula setiap provinsi yang dipimpin oleh seorang Pemimpin tinggi, harus ada seorang ekonom, yang bukan Pemimpin tinggi itu sendiri, dan yang diangkat menurut norma hukum tarekat itu; ia mengelola harta-benda di bawah pengarahan Pemimpin masing-masing. Demikian pula dalam komunitas-komunitas lokal sedapat mungkin diangkat seorang ekonom yang bukan Pemimpin lokal itu sendiri.

Sebenanrya ada 3 hal penting yang dapat ditarik kleuar dari kan.636 § 1 diatas: 1). Seorang ekonom baik dalam tingkatan kongregasi, provinsi dan komunitas lokal haruslah yang bukan pemimpin tinggi atau pemimpin lokal. 2). Tugas seorang ekonom adalah mengelola harta-benda dibawah pengarahan pemimpin masing-masing. 3) dan relasi kerjasama antara seorang superior dan ekonom.

Adapun syarat-syarat bagi seorang ekonom yakni haruslah seorang anggota yang sudah berprofesi kekal, sudah terbukti kejujuran, keteguhan, ketekunan, pengetahuan dan sikap transparannya, mempunyai hidup doa yang baik dan tahu bagaimana berhadapan dengan kesulitan-kesulitan, mempunyai sebuah persiapan yang sesuai dengan tugas yang akan dikerjakannya, seorang ekonom juga harus dijiwai oleh rasa cinta yang mendalam akan kongregasi dan karismanya, ia harus bisa juga berjalan selaras dengan “tren baru” dalam hidup religius, memiliki kemampuan untuk membuat/memberikan rekomendasi yang tepat tidak hanya dalam lingkup ekonomi, memiliki kemampuan hubungan interpersonal yang baik, kemampuan kewirausahaan,dan kemampuan berkomunikasi yang baik, ia harus terlepas dari berbagai tugas lain (agar lebih fokus menjalankan tugasnya dengan baik), dan akhirnya seorang ekonom harus juga memiliki kesehatan yang sehat dan bisa kuat bertahan dengan rasa stress yang muncul berkaitan dengan tugasnya

Hak, Tugas dan Kewajiban Seorang Ekonom

Tugas seorang ekonom secara umum bisa terbaca dalam 4 kata kerja berikut (cf. Struktur Buku V KHK 1983) yakni, memperoleh harta benda/acquistare (kan.1259-1272), mempertahankan/ritenere, mengelola/amministrare (kan.1273-1289), mengalih-milikan/ alienare(kan.1290-1298). Tugas seorang ekonom kemudian diatur dalam Buku V Kitab Hukum Kanonik tentang “Harta Benda Gereja”.

Kita akan melihat apa saja yang menjadi tugas, hak dan kewajiban seorang ekonom: Pertama-tama, penting adanya dewan ekonomi dalam tiap tingkatan pemerintahan (General, provinsial atau delegasi) dengan mengambil beberapa orang ekonom untuk menjadi anggota atau penasihat ekonomi (kan.1280), lalu seorang ekonom dalam mengelolah harta benda, mengelola atas nama gereja universal (kan.1282), dan bukan atas nama biaranya, rumah, provinsi, institutnya, atau bahkan demi keuntungannya.

Seorang ekonom dalam mengelola harta benda hendaknya memenuhi tugasnya dengan ketelitian seperti seorang bapa keluarga yang baik (kan. 1284), misalnya: mengawasi agar harta benda yang dipercayakan kepada reksanya janganlah hilang atau mengalami kerugian dengan cara apapun; kalau perlu, untuk tujuan itu, dengan membuat kontrak asuransi; memelihara dengan baik buku-buku pemasukan dan pengeluaran; membuat laporan pengelolaan pada akhir tiap tahun; mengatur dan memelihara dalam arsip yang rapi dan serasi dokumen-dokumen serta barang-barang bukti yang menjadi aset komunitas, memperhatikan dan membuat suatu daftar inventaris yang teliti dan terinci, mengenai benda-benda tak bergerak, benda-benda bergerak atau yang berharga atau yang umum dianggap termasuk benda budaya, dan mengenai benda- benda lain dengan penggambaran serta perkiraan harganya; daftar inventaris itu setelah dibuat hendaknya disahkan (kan.1283, 2°) dianjurkan agar setiap tahun membuat anggaran penerimaan dan pengeluaran (Kan. 1284§3) dengan mengikuti ketentuan yang ada pada hukum partikular (Konstitusi dan Direktori), lalu dalam batas pengelolaan biasa, dengan tujuan amal kasih dan kesalehan, para pengelola atau ekonom dibenarkan memberi sumbangan-sumbangan dari harta benda bergerak, yang tidak termasuk harta benda tetap dan pokok dari komunitas atau kongregasi (Kan.1285).

Selain itu para ekonom juga hendaknya memperhatikan undang-undang sipil dalam mempekerjakan orang berkaitan dengan ketenagakerjaan dan hidup sosial, menurut prinsip-prinsip yang diberikan oleh Gereja; memberikan kepada mereka yang bekerja di bawah kontrak, balas-karya yang adil dan wajar, sedemikian sehingga mereka itu dapat mencukupi kebutuhan mereka sendiri dan tanggungannya dengan layak (Kan.1286). Dan akhirnya, para ekonom/pengelola tidak dapat sekehendaknya melepaskan tugas yang telah diterimanya; jika karena mereka sekehendak sendiri melepaskan tugas itu Gereja mengalami kerugian, mereka diwajibkan memberi ganti rugi (kan.1289).

Relasi Superior dan Ekonom (kan.636§1)

Dengan dasar pada kan.636§1 bisa terbaca pula relasi antara superior dan ekonom dalam menjalankan tugas pelayanannya. Ada 7 prinsip mendasar dalam kaitan dengan relasi kerja antara seorang superior dan ekonom.

Pertama, prinsip kolegialitas.Yang dimaksud dengan kolegialitas disini adalah keterbukaan timbal balik dan kolaborasi persaudaraan dalam pelayanan untuk menganimasi dan membimbing komunitas.

Kedua, prinsip Otonomi yang tepat.Otonomi yang dimaksud adalah adanya ruang dan tempat bagi seorang ekonom untuk mengembangkan dan mengarahkan orientasi karya pelayanannya baik internal dan eksternal dengan baik. Otonomi disini tidak dimaksudkan suatu independensi. Adapun batasan otonomitas disini adalah Hukum universal kita (kan. 634, 365§2, 638§1, 3°) dan Karisma kongregasi yang terelaborasi dalam hukum partikular kongregasi (Konstitusi dan Direktori).

Ketiga, prinsip koresponsabiltas. Prinsip ini mengindikasikakan partisipasi bersama dalam misi atau karya layanan tertentu. Prinsip koresponsabilitas didasarkan pada nilai cinta kasih (caritas).

Keempat, prinsip Subsidiaritas. Subsidiaritas berasal dari bahasa Latin “subsidium” yang berarti membantu (aiuto). Bila diterapkan dalam relasi antara superior dan ekonom mengindikasikan bahwa superior harus membantu ekonom dan sebaliknya dengan tetap saling menghormati otonomitas dan pengetahuan masing-masing. Prinsip subsidiaritas ini berimplikasi juga pada aspek kesadaran dari tiap anggota komunitas untuk bisa juga membantu superior atau ekonom dalam tugas-tugas mereka.

Kelima, prinsip “comunione” Prinsip ini didasarkan pada relasi persekutuan Trinitarian. Karena itu, prinsip ini menunjukkan adanya realitas religius dan spiritual dalam relasi antara superior dan ekonom. Figur kunci dalam prinsip comunione ini dapat ditemukan dalam relasi antara superior dan ekonom. Prinsip comunione ini juga menjadi dasar relasi antara unitas dan diversitas dalam komunitas. Superior dan ekonom dipanggil untuk berpartisipasi dalam “comunione fraterna” yang harus bisa menyatukan semua anggota komunitas.

Keenam, prinsip tanggungjawab pribadi. Rasa tanggungjawab lahir dari pembaptisan kita dan dalam persekutuan kita dengan Gereja. Rasa tanggungjawab ini dijalankan menurut keterpanggilan dan pelayanan kita masing-masing (status hidup pilihan kita masing-masing). Bahaya dari kurangnya rasa tanggungjawab akan mudah mengarahkan kita pada sikap individualisme, materialisme dan infantilisme. Prinsip tanggungjawab pribadi ini penting sebab tanpa prinsip ini sulit bagi superior dan ekonom untuk juga melaksanakan prinsip koresponsabilitas (prinsip koresponsabilitas lahir karena telah ada terlebih dahulu prinsip tanggungjawab pribadi).

Ketujuh, prinsip saling percaya. Sikap saling percaya adalah sebuah realitas yang harus dibangun dan sangat diperlukan untuk mengembangkan karya pelayanan yang memuaskan dari Superior dan ekonom kepada komunitasnya. Sikap saling percaya yang dibangun dalam relasi antara superior dan ekonom bukanlah sebuah kalkulasi matematis, di mana kemudian ada harapan akan adanya imbalan di balik sebuah karya pelayan yang dikerjakan. Sikap saling percaya adalah juga sebuah realitas dinamis, yang mana superior dan ekonom dipanggil untuk mengembangkan kerjasama dengan saling melengkapi, saling menerima, memberi dan mencari apa yang terbaik bagi komunitas yang dilayani.

Berikan Komentar
Silakan tulis komentar dalam formulir berikut ini (Gunakan bahasa yang santun). Komentar akan ditampilkan setelah disetujui oleh Admin
AGENDA
LINK TERKAIT